Sri…Sri…
Ya, ada apa Tuan?
Nggak. Kamu kok, montok sekali ya?
Loh, Tuan mau apa naik ke ranjang saya?
Sudah. Kamu diam saja.
Tuan, jangan Tuan.
Ssst. Diam ya.
Jangan Tuan, jangan.
Nyonya kamu sudah menopause Sri.
Terus, apa hubungannya sama saya Tuan?
Sudah kamu diam saja.
Loh, Tuan tangannya jangan ke situ dong Tuan.
Ssst. Diam dulu. Baru kamu bicara ya Sri.
Tuan, jangan Tuan. Geliii…
Tuh kan Saya bilang juga apa. Itu belum seberapa Sri.
Iih Tuan. Jangan Tuan.
Jangan bilang-bilang Nyonya ya. Nanti gaji kamu saya naikin ya.
Oh, kenapa nggak bilang dari tadi Tuan?
Sudah. Sekarang kamu ikutin saya aja ya.
Manis di Bibir
Ah, leganya. Dia dateng bulan.
Tuh kan, gua bilang pake kondom.
Abis, katanya lebih enak kalo nggak pake.
Tapi, lu nggak bakal parno kayak gitu.
Hehehe.
Kan gua bilang, pake kondom. Kalo gua bilang dosa, lu nggak bakal inget sih.
Ya ya. Sekarang gua udah kapok kok.
Ah. Manis di bibir.
Bener. Nggak akan gua ulang lagi lah.
Paling nanti juga gitu lagi.
Beneran. Kemaren aja cuma blow job.
Tuh kan! Manis di bibir.
Tapi, gua udah beneran nahan diri kok.
Manis di bibir.
Gua bukan tipe player kali ya? Jadi nggak enak gitu.
Tapi tetep aja habis manis sepah dibuang.
Gue kan nggak ada hati sama dia.
Satu lagi, yang membuat dia kecewa.
Nggak kok. Dia udah tau perasaan gua.
Ya ya. Apapun lah.
Ini pelajaran berharga buat gua.
Apanya?
Bahwa, ternyata gua nggak terlalu nyandu sama seks.
Hahaha.
Gua juga nggak akan maen-maen lagi sama cewek.
Ya ya ya.
Boks Biks Baks
Feeling lo gimana?
Sekarang, biasa aja.
Kalo gitu, kita cabut yuk.
Tapi, begitu dapet, langsung cabs ya?
Ya. Nggak lama kok.
…
Katanya mau berenti.
Ya, nanti. Sekarang juga udah agak kurang kok.
Dari dulu selalu ngomong gitu.
Bener. Sekarang gua udah nggak terlalu ngebet kok.
Ah. Lagu lama.
Janji Berteman
Kita temenan aja dulu ya.
Loh, kenapa?
Nggak. Kayaknya kamu lebih enak jadi temen aku deh.
Emang, salahku apa?
Nggak. Bukan kamu yang salah.
Terus, kenapa dong?
Ini di akunya kok.
Kalo ada yang nggak kamu suka dari aku, bilang aja.
Nggak. Ini beneran akunya kok.
Aku bisa berubah kok. Janji.
Nggak. Beneran akunya. Kita temenan aja dulu ya?
Tapi, aku nggak mau jadi temen kamu.
Kamu pasti bisa.
Nanti, kita bisa balikan lagi kan?
Ya kita liat aja nanti.
Klise
Aku sayang kamu.
Oya? Makasih.
Mau nggak jadi pacarku?
Ehm, gimana ya?
Mau ya? Mau ya?
Gimana ya. Aku udah nganggap kamu kayak kakak sendiri.
Tapi, aku nggak nyari adek. Nyari pacar.
As Time Goes By
Tidak terasa ya. Kayaknya baru kemarin saya mengalami Jumat. Waktu sekarang sepertinya berjalan lebih cepat. Apakah kamu merasakannya juga? Sepertinya detik ke detik, menit ke menit, jam ke jam, sekarang seperti lewat begitu saja.
Sekarang, jaman serba cepat. Begitu bukan yang sering digembar-gemborkan orang? Apalagi mereka yang hidup di kota besar. Ya, semuanya serba cepat. Bikin KTP ingin cepat. Bikin SIM ingin cepat. Bikin apapun kayaknya bisa serba cepat.
Mungkin karena manusia sudah menemukan teknologi yang memungkinkan semuanya serba cepat, Tuhan lantas membuat semuanya berjalan lebih cepat. Ya, mungkin juga tata surya ini berjalan lebih cepat. Makanya, waktu terasa berjalan begitu cepat hingga kita sering tidak sadar kalau telah melewati hari.
Mungkin dunia sudah tua. Sudah mau kiamat. Makanya semuanya terasa begitu cepat. Bukankah semua yang berjalan lebih cepat dari biasanya, akan berujung pada kehancuran? Ah, entahlah. Mungkin itu hanya pandangan bodoh saya. Tapi yang jelas, itu yang saya rasakan.
Salam,
Paksipapa Preman-preman
Ya, kita bisa dengan mudah menemukan mereka. Di jalan, di terminal, di pusat keramaian, di keriaan, di gedung-gedung dan entah di mana lagi. Dua profesi itu agaknya yang paling sering bersentuhan dengan masyarakat.
Dua-duanya sama-sama berhubungan dengan rasa aman. Polisi, katanya ingin melayani dan melindungi masyarakat. Memberikan rasa aman. Preman, sering menggunakan dalih seperti itu juga untuk membuat mereka merasa berhak punya kuasa. Liat saja di terminal, atau di tempat mangkal angkutan kota.
Padahal, buat saya dua-duanya memberikan rasa takut, ancaman. Bukan apa-apa, setiap saya datang ke kantor polisi–membuat SIM misalnya—pasti dada berdebar. Takut, karena banyak polisi. Begitu juga kalau ada di terminal, atau di gang-gang misalnya. Melihat begitu banyak preman, efek psikologisnya kurang lebih sama dengan efek psikologis yang diberikan polisi kepada saya.
Kalau polisi memanggil atau menghampiri kita, itu juga sama menegangkannya dengan dihampiri preman. Karena yang terlintas di kepala, pasti dua-duanya mau meminta uang. Haha. Mungkin kamu juga punya pikiran seperti itu. Cara mereka mencari uang kan kurang lebih sama.
Polisi dan preman, sama-sama menggunakan kekuasaannya untuk mendapat uang. Dua-duanya sama-sama mengancam. Yang satu dengan seragam dan segala tetek bengek soal Undang-undang. Yang satu dengan tampang seramnya.
Cuma, kalau preman lebih jujur. Mereka memang terang-terangan ingin merampok, atau meminta uang. Sementara polisi, sedikit malu-malu. Dengan dalih melanggar peraturan atau Undang-undang, mereka lantas bicara sangsi. Padahal kan, intinya ingin uang saja. Yang paling jelas terlihat mungkin polisi lalu lintas.
Oya, perilaku polisi dan preman pun kalau di bis kota kurang lebih sama. Mereka sama-sama tidak mau bayar. Entah apa yang membuat mereka merasa berhak naik gratis. Polisi biasanya, cukup diam. Biarlah seragamnya yang berbicara. Sementara preman, kadang-kadang harus bilang dulu dengan sedikit menunjukkan tampang seramnya.
Intinya, mereka sama. Polisi maupun preman. Yang lebih gawat lagi, adalah polisi. Karena mereka preman berseragam, dengan backing Undang-undang, Hukum dan sejenisnya. Dan yang ini, sepertinya lebih mengerikan dibanding preman manapun. Karena mereka bisa menangkap preman-preman.
Kita sering dengar kan, istilah polisi berpakaian preman. Tapi, kenapa tidak ada istilah preman berpakaian polisi? Padahal, sepertinya kan yang lebih banyak adalah yang seperti itu.
Kacaunya, dua profesi itu sepertinya disukai masyarakat kita. Tidak percaya? Lihat saja betapa banyaknya tayangan berita kriminal. Yang menampilkan aksi polisi dan preman dalam sebuah penggerebekan, atau kejar-kejaran. Gila!
Ah, sudahlah. Nanti tulisan ini terlalu panjang. Sebelum kamu keburu bosan, saya harus akhiri tulisan ini. Maaf kalau ada yang tersinggung.
Judge a Book by Its Cover
Ya, dua profesi itu punya kesamaan. Sama-sama mengandalkan fisik sebagai modal utamanya. Model, tentu saja keindahan fisik mereka. Semakin cantik, tampan dan ideal tubuh mereka, tentu saja orang lebih senang melihatnya.
Sedangkan pengemis, mengandalkan ketidakindahan fisik mereka. Semakin memprihatinkan mereka, tentu saja akan lebih mudah mereka dapat perhatian dari orang-orang yang lewat di depannya.
Intinya, dua profesi itu sama-sama mengandalkan fisik untuk mendapatkan uang. Pandangan dangkal? Mungkin. Tapi, agaknya ungkapan don’t judge a book by its cover tidak berlaku buat mereka.
Bukan apa-apa. Mau tidak mau, kita harus menilai model dan pengemis dari penampilan mereka. Kalau ada model yang menurut kita tidak cantik, pasti kemungkinan besar kita akan bilang, “Ah, dia mah nggak terlalu cantik,” atau “Kok, tampang kayak gitu bisa jadi model ya?” Intinya, kita akan kecewa kalau penampilan model tidak seindah yang kita harapkan.
Salah satu syarat untuk jadi model pun, harus berpenampilan menarik, bertubuh proporsional. Itu dulu kan yang dicari. Kepribadian atau bakat, dilihat setelah itu. Apa namanya dong, kalau bukan menilai dari penampilannya. Menilai buku dari sampulnya.
Sementara pengemis. Kalau fisik mereka sehat-sehat saja, gemuk misalnya, pasti kita akan berpikir, “Ah, dia malas. Badan begitu kayaknya masih bisa cari kerja deh.” Tapi kalo fisiknya terlihat lemah, kurus kering, dengan banyak penyakit kulit, kemungkinan besar kita akan iba. Dan keinginan untuk memberi uang pun jadi lebih besar.
Kontes kecantikan kan sering tuh diadakan. Saya jadi berandai-andai, kalau saja ada kontes pengemis paling memprihatinkan. Dicari; bakat baru dalam dunia pengemis. Syarat-syarat; berpenampilan tidak menarik, laki-laki atau perempuan, usia bebas, dan belum pernah memenangkan kontes pengemis manapun.
Mungkin akan lebih menaikkan derajat pengemis ke tingkat yang lebih tinggi di mata masyarakat. Nah, kalau sudah begitu, mungkin nanti model dan pengemis akan sama derajatnya. Hahaha. Ah, tidak juga ya? Tapi sudahlah.
Salam,
Teori Eksistensi
Itu kata Andy Warhol. Dan sepertinya dia benar. Sekarang, bukan cuma selebritis saja agaknya yang bisa nongol di layar kaca. Lihat saja tayangan-tayangan yang katanya reality shows itu.
Bicara soal famous atau terkenal. Saya jadi teringat teman-teman saya. Setidaknya, empat dari teman saya akan masuk tampangnya di film Cinta Silver–yang baru akan diproduksi. Ah, rupanya mereka akan mendapatkan fifteen minutes mereka.
Sepertinya, hampir semua orang ingin jadi terkenal. Setidaknya, pernah punya keinginan untuk jadi orang terkenal. Termasuk saya. Termasuk kamu. Bukan begitu?
Personel kelompok musik yang saya wawancarai beberapa hari yang lalu, malah mengatakan kalau mereka sangat ingin terkenal. Minimal orang-orang tau lah siapa mereka. Itu salah satu bukti pengakuan publik. Begitu kata mereka.
Mungkin itu maksud Warhol. Bahwa semua orang pada dasarnya punya keinginan jadi orang terkenal. Dan ketika teknologi semakin maju, sarana untuk mewujudkan itu semakin mudah.
Padahal, jadi orang terkenal itu belum tentu enak. Tapi masih banyak orang ingin terkenal. Buktinya, masih banyak para peminat kontes-kontes bernyanyi atau pencarian bakat baru itu.
Kalau menurut saya sih. Keinginan jadi orang terkenal sama saja dengan keinginan mendapat pengakuan dari orang lain. Bukti eksistensi diri. Semakin besar keinginan orang untuk terkenal, semakin tinggi pula keinginan pembuktian eksistensi dirinya. Pencarian jati diri yang tak pernah usai! Hahaha.
Teman saya ada yang sudah mendapat fifteen minutes mereka. Bagaimana dengan kamu? Ingin dapat fifteen minutes-mu? Atau masih bermimpi? Kalau begitu, mari kita sama-sama bermimpi.
Salam,
Calling Dr. Love
Hari penuh cinta juga. Lalu, apa sebenarnya rasa sayang itu? Apa itu cinta? Perasaan yang mendalam terhadap orang lain? Sesuatu yang indah? Tidak juga sepertinya. Malah, itu bisa berubah jadi benci. Begitu kenyataan tidak sesuai dengan harapan.
Yang saya ingin tau dari dulu. Bagaimana kamu bisa tau kalau kamu benar-benar mencintai seseorang? Apakah ketika kamu mau menerima segala apapun yang ada di dirinya? Apakah ketika kamu siap menerima perlakuan apapun dari orang yang kamu cintai itu?
Lantas, bagaimana kamu tau kalau kamu benar-benar jatuh cinta? Apakah ketika hati kamu berdebar-debar setiap melihat dirinya? Apakah ketika sosoknya selalu terbayang di benak kamu?
Wah, kalau begitu definisinya berarti berat sekali ya. Ada yang bisa bantu saya?
Salam,