TALEDA TIYEBU
EBAMIN UJATIK
IBATAS IBILIK
IKETUN IDALAK
AKINAT UMESUM
ABINAT UYESUM
BABIRA JIWISU
Silakan ditebak apa maksudnya. Kalau sudah bisa nebak, maaf kalau kata-katanya sedikit tidak sopan.
Salam,
TALEDA TIYEBU
EBAMIN UJATIK
IBATAS IBILIK
IKETUN IDALAK
AKINAT UMESUM
ABINAT UYESUM
BABIRA JIWISU
Silakan ditebak apa maksudnya. Kalau sudah bisa nebak, maaf kalau kata-katanya sedikit tidak sopan.
Salam,
Begitu SMS seorang sahabat saya, di tengah malam. Jelas, yang terlintas di benak saya adalah betapa ‘tersiksanya’ dia. Padahal, beberapa bulan yang lalu, saya masih mendengar cerita bahagia dia. Karena bisa menjalin kembali hubungan dengan mantan pasangannya. Tapi, kisah itu kembali tandas. Dan, dia kembali jadi laki-laki kesepian.
Saya yakin, kamu juga merasa begitu. Betapa kesepian sangat menyiksa. Kamu pernah merasakan kesepian? Bisa sepi karena jauh dari rumah. Jauh dari keluarga, atau teman-teman. Tapi, satu yang pasti. Kamu merasa kesepian ketika tidak ada orang yang menyayangimu. Yang bisa memberikan kehangatan batin. Haha. Anjis! Jadi menye-menye begini ya?
Seorang sahabat saya yang lain, malah mengeluarkan teori kompensasi. Bolehlah, dia tidak punya pacar sekarang. Sebagai gantinya, dia puaskan dirinya dengan membeli PS2, DVD player dan barang-barang lain yang bisa menggantikan perasaan sepi itu. “Sekarang kan gua nggak terlalu pusing mau ke mana malam minggu,” kata dia.
Ah, banyak cara orang lakukan untuk mengusir kesepian. Seakan-akan itu sesuatu yang menakutkan. Saya yakin tidak ada seorang pun yang mau merasakan kesepian. Termasuk saya. Termasuk kamu.
Bagaimana dengan kamu? Apakah sekarang merasa kesepian? Butuh seseorang? Ini, juga ramai dibicarakan sahabat-sahabat saya di blognya. Soal cinta dan perasaan membutuhkan orang lain. Kalau begini, saya jadi ingat lirik lagu The Rolling Stones:
We all need, someone we can lean on…
We all need, someone we can dream on…
We all need, someone we can cream on…
We all need, someone we can bleed on…
[Let It Bleed, dari album berjudul sama, 1969]
Saya juga kadang merasa seperti itu. Sepi. Sendiri. Tidak ada orang untuk membagikan perasaan; somebody to love, and who can love me! Hehe. Ini akhirnya menggiring ingatan saya kepada lirik lagu dari Slank:
Kadang ku merasa sendirian.
Sahabat cuma diriku sendiri.
Selalu merasa kesepian.
Seakan orang-orang nggak ada yang pernah peduli.
[Bersama Kita Menangis, dari album Lagi Sedih, 1996]
Bagusnya, saya masih punya sahabat-sahabat yang bisa tidak membuat hari-hari saya sepi. Ibarat penghilang haus dan dahaga jiwa! Hahaha. Ah sudahlah. Semakin tidak jelas. Semakin mellow. Harus dihentikan.
Salam,
Simpan saja di dalam hatimu.
Tak perlu semua diungkapkan.
Segala apapun yang kan kau rasakan sendiri. Hanya kau.
Perjalanan hidupmu, untukmu.
Tak semua orang bisa mengerti.
Simpanlah sukamu. Simpanlah dukamu. Simpan rahasiamu.
Tak perlu kau katakan semua yang tak perlu kau katakan.
[sebuah lagu Plastik–saya lupa judulnya–dari album Dengarkan Pada Saat Tenang, 1997]. Bisa jadi liriknya ada yang salah. Tapi, kurang lebih seperti itu.
Lirik itu seakan selalu mendukung saya untuk menyimpan semua cerita untuk diri sendiri. Ternyata, di balik semua mulut besar dan “keterbukaan” itu, saya masih introvert. Hahaha. Tapi, diri saya yang lain kadang selalu memaksa untuk bercerita. Mengeluarkan semua yang terasa. Buktinya, ya beberapa tulisan saya di sini.
Susah juga ya? Tapi, Plastik juga sepertinya mengalami yang saya rasakan. Kalau di lagu itu mereka berkata, “Simpan saja”. Di lagu lain yang juga saya lupa judulnya, masih di album yang sama, mereka malah berkata;
Katakan.
Katakan tentang apa yang harus kau katakan.
Masih ada ruang untuk berikan senyuman.
Katakan padaku. Cerita-ceritamu…
Mungkin kamu juga pernah mengalami yang saya rasakan.
Salam,
Tidak ada Peterpan di sini. Tidak ada Tinkerbell. Tidak ada Kapten Hook. Hanya ada sekumpulan orang-orang di pertengahan 20-an dan 30-an yang masih bersikap seperti anak belasan tahun.
Salam,
Itu judul tulisan di blog teman saya [http://il-matto.blogspot.com]. Dia cerita tentang cewek yang ingin membakar foto mantan pacarnya. Karena merasa dikecewakan.
Ironis sebetulnya. Cewek–yang juga teman saya–itu rupanya masih sakit hati karena diputuskan mantan pacarnya. Ya, saya tau bagaimana sakitnya. Jadi, kurang lebih saya bisa memahaminya. Oya, ironis karena teman saya yang lain–yang juga teman si cewek itu–malah sedang bahagia karena cinta. Dia baru jadian.
Tidak ada yang lebih indah rasanya dari perasaan, baru punya pacar. Saya pernah mengalaminya. Intinya, saya pernah mengalami yang dua teman saya itu rasakan. Jatuh cinta dan juga ‘terjatuh’ karena cinta. Namanya jatuh, pasti sakit lah. Apalagi sebelumnya dibawa terbang tinggi. Semakin tinggi kau terbang. Semakin sakit kau ketika jatuh. Itu pelajaran berharganya.
Saya ingin merasakan lagi indahnya jatuh cinta. Tapi, saya juga takut sakit hati lagi karena cinta. Apa yang dirasakan dua teman saya itu seakan menggambarkan apa yang bisa saya rasakan.
Mudah-mudahan saja terjadi efek domino. Setelah teman saya jadian, giliran saya yang jadian. Hahaha. Sudah ah. Nanti seluruh perasaan saya ditulis di sini, kan gawat.
Salam,
Hahaha. Saya ingin bicara soal perut. Dulu, saya tidak pernah terpikir akan mengalami yang saya rasakan sekarang. Dulu, saya kira, apa salahnya perut sedikit buncit?
Kalau saja, saya tidak meninggalkan olaharaga, mungkin perut saya tidak akan seperti sekarang. Sialan. Selepas SMA, saya benar-benar meninggalkan Men Sana In Corpore Sano. Hasilnya, kondisi fisik saya jauh dari prima.
Kalau dibiarkan begini terus, apa kata istri saya nanti? Melihat suaminya berperut buncit? Hahaha. Ah, sudahlah. Mengeluh saja tidak akan memecahkan masalah.
Salam,
Kalau bilang, kamu cantik. Mereka senang. Kalau bilang, pakaian kamu bagus. Mereka senang. Kalau bilang, rambut kamu indah. Mereka senang. Kalau bilang, mata kamu indah. Mereka senang.
Ya, maksud saya. Ucapan seperti itu kemungkinan besar akan membuat mereka senang.
Tapi, kalau bilang, pantat kamu indah. Kemungkinan besar, mereka akan kaget. Kalau kamu bilang, payudara kamu juga indah. Kemungkinan besar mereka merasa dilecehkan. Haha.
Coba kamu ucapkan itu, sama perempuan yang tidak terlalu akrab sama kamu. Kemungkinan kamu dicap punya pikiran kotor. Padahal, pujian tentang pantat, atau payudara, sama juga seperti pujian fisik lainnya; mata, rambut atau pakaian.
Bisa jadi saya salah. Tapi, saya yakin. Banyak laki-laki di luar sana, yang juga ragu-ragu untuk mengeluarkan seperti itu. Termasuk saya. Lebih baik saya simpan saja di dalam hati, atau bagi bersama teman-teman laki-laki lain. Ah sudahlah.
Salam,
Saya pernah. Sampai saat ini, baru enam kali. Haha. Norak ya? Sudahlah. Sabtu [29/1] dan Senin [31/1] lalu, saya baru naik pesawat lagi. Dan perasaan itu masih saja sama. Penuh tekanan. Padahal, katanya perjalanan naek pesawat adalah perjalanan paling aman secara statistik. Itu saya tau dari dialog di film. Saya lupa judulnya.
Anyway, kembali ke tekanan tadi. Ini yang bisa saya ceritakan dari pengalaman saya dengan perjalanan lewat udara.
Begitu masuk bandara, kita harus melewati penjagaan. Segala barang bawaan kita diperiksa dengan sinar X. Tekanan pertama. Beres dari situ, kita masih harus check in. Dan mereka hanya mengijinkan kita sampai setengah jam sebelum pesawat take off. Tekanan ke-dua. Bisa dibayangkan, paniknya kita kalau ternyata waktu kita benar-benar mepet? Beres check in, kita masih harus melewati penjagaan lagi.
Dalam perjalanan menuju ruang tunggu, ada perempuan menawarkan asuransi. Haha. Tentu saja yang terlintas di benak, perjalanan ini penuh resiko hingga harus diasuransikan segala. Tekanan ke-tiga.
Masuk pesawat. Segala aturan diumumkan. No chellphones. Fasten your seat belt. Tekanan ke-empat. Belum lagi, momen ketika pramugari memperagakan cara menggunakan pelampung, masker oksigen dan keluar dari pintu darurat. Aha. Tekanan ke-lima. Kalau itu belum cukup, di depan kursi setiap penumpang, ada gambar-gambar tentang keadaan darurat. Tekanan ke-enam.
Begitu kamu pikir sudah bebas tekanan. Maka momen ketika pesawat take off benar-benar penuh tekanan. Apalagi ketika sudah ada di atas awan. Untuk orang-orang yang takut ketinggian seperti saya, itu benar-benar menegangkan. Ide kalau saya berada di atas tanah, tanpa pijakan apapun benar-benar membuat adrenalin mengalir. Tanpa tau pasti apakah pesawat ini bisa diandalkan atau tidak. Tekanan ke-tujuh.
Belum lagi kalau cuaca buruk. Pesawat bergoyang. Kadang naik turun. Jantung pasti berdetak keras kalau sudah begini. Haha. Tekanan ke-delapan. Begitu mendarat, bunyi mesin pesawat yang bergemuruh juga tekanan yang besar. Gila! Apakah pesawat ini akan meledak? Tekanan ke-sembilan. Tekanan terakhir, bisa datang dari orang yang duduk di sebelah kamu. Yang mulutnya selalu komat-kamit, matanya tertutup, dan berdoa. Setiap take off, landing dan pesawat bergoyang. Haha. Saya tidak bercanda. Ada teman saya yang seperti itu. Tekanan ke-sepuluh.
Intinya, sampai pesawat benar-benar mendarat, saya tidak bisa tenang. Dan dari semua kendaraan yang pernah saya naiki, pesawat tetap yang paling menegangkan dan penuh tekanan. Mungkin kalau saya naik pesawat yang ukurannya lebih besar dari yang selama ini pernah saya naiki, pendapat saya akan lain.
Maaf kalau terkesan norak. Hanya ingin berbagi saja. Entah sampai kapan saya akan merasa seperti itu setiap naik pesawat. Mungkin kamu juga merasa dapat tekanan seperti itu. Mungkin juga kamu lebih berani. Saya tidak tau. Kamu beri tau saya oke? Untuk sementara, sudah dulu ya.
Salam,
Musim kemarau api. Musim penghujan banjir. Jakarta tidak bersahabat. Api dan airnya bencana. Entah karena kebodohan, kecerobohan atau keserakahan… Jakarta cuma enak buat cari duit. Nah, kalau duit sudah punya. Hijrah saja…
Salam,
Makanya, sampai ada teori soulmate segala macem. Saya menulis ini karena kemarin, sahabat saya menceritakan kegamangannya–begitu dia menyebutnya. Dia gamang dan takut kalau orang yang dia putuskan akan jadi pasangan hidupnya ternyata bukan “the one” yang dia cari.
Sahabat saya yang lain lagi, malah sedang berbahagia. Kemarin, dia baru saja jadian. Dan dia bilang, kalau orang itu mungkin yang dia cari selama ini. Pasalnya, setelah beberapa kali kencan, baru dengan orang itulah dia merasakan chemistry. Makanya, dia ungkapkanlah perasaannya itu. Hingga akhirnya mereka jadian.
Pertanyaan apakah pasangan kita adalah “the one” yang selama ini kita cari, agaknya menghantui banyak orang. Dan saya yakin, banyak orang yang bingung. Dari mana kita tau, kalau dia adalah “the one”? Bisa jadi, masih ada orang lain di luar sana yang ternyata lebih cocok dengan kita. Mungkin kamu juga punya pikiran seperti itu.
Tapi, saya belum sampai ke sana. Bukan apa-apa. Saya belum punya pacar lagi. Sudah lebih dari satu tahun saya sendiri. Dan, sebelumnya saya sempat naif, mengira kalau mantan saya itu adalah yang saya cari. Haha. Sialan! Lagi-lagi malah curhat. Harus segera dihentikan nih.
Sudah dulu ya. Buat kamu yang juga bertanya, saya doakan semoga mendapat jawabannya. Buat kamu yang sudah yakin dengan pilihannya, saya ucapkan selamat. Buat kamu yang masih mencari, saya ucapkan semoga sukses. Haha. Dan tetaplah mencari. Tetap yakin, “…because you got to have faith faith faith!”
Salam,