Halo Blog.

Tak terasa, sudah tahun 2018 ya.

Tahun 2017, cukup banyak yang terjadi, tapi yang paling besar sih, saya jadi sutradara. Yah, belum seratus persen sih, masih tandem sama Monty Tiwa, tapi lumayan lah. Tak semua orang bisa dapat kesempatan jadi sutradara. Beberapa hari lalu saja, ada orang yang bikin status di Facebook dan bilang dia tak akan mau nonton film yang disutradarai oleh stand-up comedian karena tak melalui proses seperti yang biasa dilalui orang film, tahu-tahu diminta jadi sutradara sama produser PH. Tulisan orang itu, menyadarkan saya bahwa meskipun saya belum sepenuhnya jadi sutradara, tapi itu tetap kesempatan emas.

Film pertama saya, “Mau Jadi Apa?” tak terlalu sukses secara penjualan. Setelah 2 minggu bertahan di bioskop, hanya mencapai angka 126 ribuan penonton. Jika dibandingkan film yang mencapai belasan atau puluhan ribu sih, ya angka ini lumayan. Tapi kalau dibandingkan film yang jutaan penonton, tentu saja angka ini kecil. Kecewa tentu saja ada. Bohong kalau tak kecewa. Saya pikir, minimal 300 ribuan mah bisa lah. Eh ternyata, boro-boro. Haha. Tapi kemudian ada yang membuat saya tak kecewa berlama-lama. Saya ingat salah satu dialog yang diucapkan Joe Project P di film “Mau Jadi Apa?” di mana dia bilang, “Men Sana In Prosesano” kepada saya di salah satu adegan. “Kalau prosesnya ke sana, tapi hasilnya ke sono, nggak apa-apa. Yang penting Soleh sudah berusaha,” begitu kata Joe kepada saya di film.

Rupanya kalimat itu tak cuma sesuai konteks dengan adegan di film saja, tapi di kehidupan nyata. Setidaknya saya dan tim sudah berusaha semaksimal mungkin membuat film yang bagus [setidaknya buat kami], dan sudah berusaha semaksimal mungkin untuk mempromosikannya. Tapi ya, hasilnya begitu.  Kata mereka yang sudah nonton sih, film “Mau Jadi Apa?” bagus. Kalaupun ada komentar negatif soal cerita, tak terlalu membuat saya sakit hati, karena toh memang saya sudah sadar kekurangan itu. Haha. Lagipula, komentar negatif mah tak terlalu berpengaruh pada saya.

Entah apa yang membuat film “Mau Jadi Apa?” kurang sukses. Bisa jadi karena posternya tak menarik. Foto paling besar di poster itu, mamang-mamang gondrong yang kurang terkenal. Bisa jadi karena temanya kurang menarik buat orang awam. Kisah nyata soal hidup Soleh Solihun yang menerbitkan majalah kampus sepertinya tema yang sangat sempit. Haha. Bisa jadi karena promonya kurang sasaran. Ada salah seorang penonton yang bilang, harusnya dari awal promonya menyasar ke orang-orang tua alias generasi 90-an, karena film “Mau Jadi Apa?” kental sekali dengan nuansa 90-an. Bisa jadi juga karena di saat yang bersamaan, ada 2 film horror lokal sedang tayang. Atau ya memang film saya bukan termasuk dalam daftar prioritas orang. Soalnya, banyak sekali teman yang bilang, “Gua belum sempet nonton filmlu euy. Udah turun ya?”

Yah begitulah. Semoga produser tak kapok meminta saya jadi sutradara. Haha. Tapi, ada satu kejadian yang paling berkesan dari film “Mau Jadi Apa?”.  Satu hari, ketika sedang promo di Paskal 23, Bandung, di sesi tanya jawab, ada seorang penonton yang bertanya.

“Saya temen kampusnya Soleh. Masih ingat nggak? Dulu saya pernah sakit dan ingatan masa kampus hilang, tapi setelah nonton film ‘Mau Jadi Apa?’ tau-tau ingatan saya waktu kuliah bermunculan. Saya mau bilang makasih,” katanya.

Begitu saya menengok, saya baru sadar. Dia Yandi Adrian. Saya pernah dengar kabar soal Yandi yang ada tumor di kepalanya dan sejak tahun 2000 tak pernah ke kampus. Dia tak kenal siapa teman-temannya, bahkan pacarnya sekalipun. Maka, 17 tahun sejak Yandi menghilang dari kampus, saya bertemu dengannya siang itu.

Dia tersenyum ketika saya sebutkan nama lengkapnya.

“Wah. Masih inget ternyata,” katanya.

Dia lantas bercerita. Memang, sejak tahun 2000 dia tak ingat siapa-siapa. Bahkan yang paling membuatnya sedih, dia tak ingat surat al-Fatihah. Sejak tahun 2000 hingga 2004 [kondisinya mulai membaik] dia hanya diam di rumah. Beberapa kali ada teman berkunjung ke rumahnya, tapi tak dia kenali. Tahun 2006 dia kuliah lagi di Universitas Indonesia, mengambil jurusan Manajemen dan sejak lulus dari sana, dia kerja di Depok. Saya lupa dia lulus tahun berapa. Ketika saya muncul di Metro TV, keluarganya selalu bilang bahwa saya teman sekampusnya, tapi dia tak ingat. Yandi juga ingat, satu hari pernah bertemu dengan teman sekampus, dan dia tak bisa mengingat seperti apa mereka semasa di kampus.

“Pas gua denger ada film tentang Fikom Unpad angkatan ’97, gua penasaran,” kata Yandi.

 

YANDI

 

Ternyata, sejak adegan pembuka, adegan ospek, ingatan mengalir deras di kepalanya. Melihat nametag di salah satu figuran bernama Arbow, dia ingat Arbow yang rumahnya di Lembang. Melihat nametag di salah satu figuran yang bernama B’kur, Yandi tiba-tiba ingat sosok B’kur, yang anak Cimahi, bapaknya penjahit dan punya usaha bernama Darto Tailor. Melihat Arif Zaidan muncul di adegan akhir, dia ingat bahwa itu juga teman SMP nya, teman-teman memanggilnya Zaidan tapi Yandi memanggilnya Arif. Melihat sosok Ricky Wattimena, Yandi ingat sosok Hani Syarief alias Arab. Yandi ingat bahwa Arab sering memamerkan penisnya. Dia bingung, ingatan ini hanya imajinasinya atau benar-benar terjadi? Makanya dia penasaran ingin konfirmasi kepada saya. Sejak masih di bioskop, hingga pulang ke rumah, ingatan terus mengalir deras. Yandi tak bisa tidur, karena dia terus mendapat kilasan ingatan. Dia sering tertawa sambil mengingatnya. Tapi tetap tak yakin apakah semua kejadian lucu itu imajinasinya saja atau benar terjadi.

Ini adalah berkah film “Mau Jadi Apa?”.

Terima kasih buat kamu yang sudah nonton film itu. Dan buat yang kemarin merasa benar-benar menyesal karena ketinggalan film saya di bioskop, kalau begitu jangan ditunda lagi ketika film kedua saya tayang di bioskop.

31 Desember 2017, saya menyelesaikan proses syuting film kedua saya yang berjudul “Reuni Z.” Timnya sebagian besar masih tim yang sama dengan film “Mau Jadi Apa?” Skenario masih digarap bareng Aga dan Ogi, sutradara juga bareng Monty Tiwa. Kali ini kami di bawah rumah produksi RAPI Films, yang dua tahun berturut-turut tiga filmnya laris manis tanjung kimpul: “Hangout” [2016] 2,6 jutaan, “Dear Nathan” [2017] 800 ribuan, dan “Pengabdi Setan” [2017] lebih dari 4 juta penonton. Film “Reuni Z” dalam satu kalimat bisa ditulis begini: di sebuah reuni SMA terjadi zombie outbreak.

Ide awalnya dari Aga dan Ogi, yang kemudian dibantu saya untuk mengembangkan cerita. Kesamaannya dengan film “Mau Jadi Apa?” adalah sisi musiknya. Meskipun ini film komedi zombie, tapi salah satu yang membedakan film ini dengan banyak film zombie lainnya adalah bahwa ini berhubungan erat dengan musik. Saya tak bisa menjelaskan lebih lanjut. Soalnya, trailer belum dibuat, kalau saya tulis lebih detil, kuatir nanti tak jadi masuk trailer, malah spoiler di sini. Dan Lalieur Laleuleus Paregel, band kampus saya yang membuat soundtrack film “Mau Jadi Apa?” dengan judul “Balada Soleh Solihun”, kali ini juga membuat lagu khusus untuk film “Reuni Z,” dengan judul “Aku Mau Kamu Tahu Aku Mau Kamu.”

Saya bernyanyi di lagu ini. Seumur hidup belum pernah rekaman, bahkan menyanyi sendirian di panggung pun belum pernah, tahu-tahu rekaman. Haha. Saya melakukan ini karena di film “Reuni Z”, saya punya band bernama Kagok Edan bersama Tora Sudiro, Dinda Kanyadewi, dan Ayushita. Saya vokalis/gitaris di sana, makanya saya benar-benar merekam lagu itu, demi jujur pada penonton. Haha. Oya, saya juga belajar memainkan gitar demi film ini. Jadi ya, harapannya sih, ketika di layar, tak terlihat terlalu kaku. Agak luwes dikit lah. Hehe.

Film “Reuni Z” bakal tayang di bioskop mulai 12 April 2018. Ini beberapa foto dari lokasi syuting. Kalau mau lihat lebih banyak, cek Instagram: @filmreuniz  di sana akan diupdate foto baru setiap hari. Selain nama yang sudah saya sebutkan tadi, ada Surya Saputra, Fanny Fabriana, Cassandra Lee, Cut Beby Tshabina, Kenny Auztin, Ence Bagus, Joe P Project, Verdi dan Henky Solaiman, Anjasmara dan Dian Nitami, Bianca Liza, Adit Insomnia, Ricky Wattimena, Ibob Tarigan, serta beberapa nama lainnya.

Yah, semoga saja film “Reuni Z” lebih laku dibandingkan film saya sebelumnya. Soalnya, belum apa-apa, produser sudah membanding-bandingkan film ini dengan film laris mereka yang lain. “Kita bikin lebih gila dari Hangout, Leh. Kita harus lebihin Hangout.”

Sungguh sebuah kalimat yang membebani. Hahahahaha.

 

DSC_0172 DSC_0052 DSC_0231 DSC_0452 DSC_0459 DSC_0586 DSC_0622 DSC_0833 DSC_0900 DSC_1033