Kalau saja Pete Wentz tetap di jalur hardcore, mungkin dia tak akan sepopuler sekarang.
Kemungkinan besar dia tak akan datang ke Indonesia. Dan tak akan ada ribuan remaja putri berteriak memanggil-manggil namanya di Tennis Indoor Senayan. Dan tak akan diberi pertanyaan klise—khas banyak wartawan lokal pada musisi luar yang datang ke Indonesia—yang diajukan oleh seorang penyiar radio anak muda dengan logat ke-negro-negro-an pada saat konferensi pers, Minggu [23/9] kemarin.
“Yo, what’s up guys? I’m representing Oz Network, welcomes you to Indonesia. Blablabla [saya lupa kalimat berikutnya, yang jelas seperti tipikal penyiar radio memberi kalimat pengantar dalam bahasa Inggris sebelum memutar lagu]. So, what’s your preparation, non technical preparation?”
Dua kali mereka terlihat kaget. Pertama dengan logatnya. Kedua, dengan pertanyaannya.
Konferensi pers itu berjalan singkat. Seingat saya, hanya ada lima wartawan yang bertanya. Tanya jawab hanya berjalan sekira lima belas menit. Dan entah berapa menit sesi foto. Seperti biasa, para fotografer itu berteriak-teriak. Mungkin sudah jadi kebiasaan, kalau mau mengambil gambar orang harus disertai kalimat perintah.
Fall Out Boy tak banyak bicara. Bahkan, saking iritnya bicara, mereka tak mengabarkan pada panitia kalau mereka tertinggal pesawat. Akhirnya, ketika panitia menjemput mereka di bandara, mereka tak kunjung tiba.
“It wasn’t our fault,” kata gitaris Joe Trohman.
Saya lupa apa saja yang dibicarakan di sana. Saya juga kurang mendengar jawaban Joe dan drummer Andy Hurley ketika saya tanya soal Andy yang serius menjadi straight-edge hingga ketika Joe menghisap ganja, Andy menutup hidung dan mulutnya. Yang saya ingat, Melanie Subono, yang jadi moderator, berkata soal Andy yang ingin makan toge dan tahu saja malam itu. Tapi, toge dan tahunya direbus terpisah.
Jam sembilan malam, penonton sudah masuk ke Tennis Indoor Senayan. Saya lupa, kapan terakhir kali menonton kelompok musik luar di sana. Kursi tribun padat. Begitu juga dengan daerah festival.
Ribuan remaja putri yang tak sabar menanti, ikut menyanyikan lagu Fall Out Boy ketika salah satu video klip mereka diputar. Mereka hapal di luar kepala. Setidaknya, begitu yang terlihat dari depan panggung. Mereka juga berteriak-teriak memanggil kelompok musik pujaannya.
“F O B !”
“F O B !”
“F O B !”
Entah kenapa disingkat. Padahal, kalau mereka teriakkan nama lengkapnya, masih bisa. Toh nama Fall Out Boy juga hanya terdiri tiga suku kata.
Tak berapa lama, remaja-remaja itu mengganti kalimat teriakkannya.
“We Want Pete!”
“We Want Pete!”
“We Want Pete!”
Yang dimaksud Pete, tentu saja Pete Wentz, bassist sekaligus frontman.
Suara laki-laki di sana, tenggelam oleh ribuan suara perempuan. Mungkin karena sebagian besar laki-laki yang ada di sana, pita suaranya belum pecah. Mungkin juga belum tumbuh rambut di bawah sana dan belum mimpi basah. Hehe.
Ketika seorang kru naik panggung, memerika tata suara, remaja-remaja itu berteriak. Padahal, sosoknya jelas-jelas berbeda. Tinggi besar, gondrong. Atau memang, dari kejauhan tak terlihat jelas.
Sepertinya, jam sembilan lebih dua puluh Fall Out Boy baru tampil. Tiga lagu pertama, saya ada di depan panggung. Bersaing dengan puluhan fotografer.
Jeprat! Jepret! [ini suara kamera]
Jedag! Jedug! [ini sound effect saya berjibaku dengan fotografer lain]
Jeprat! Jepret!
Jedag! Jedug!
“What the hell is going on here?” entah kata Pete atau vokalis Patrick Stump.
Saya yang tak mengerti makna lain selain kalimat pertanyaan itu, dalam hati bicara, “Kok bodoh sih. Ya jelas-jelas ini konser lu!”
Ini kali kedua saya motret pertunjukkan kelompok musik luar. Yang pertama, waktu meliput Black Eyed Peas di Singapura buat Trax. Agak menyebalkan, karena hanya ada sedikit waktu. Apalagi saya bukan fotografer. Dan kalaupun motret, biasanya di pertunjukkan-pertunjukkan kecil, dengan tak banyak fotografer lain di sekitar panggung, dengan waktu yang lebih bebas.
Masuk lagu ke-empat, bodyguard berbadan bulat mengusir kami. Tangannya ke atas dan ke bawah, memutar-mutar. Yah kamu tau lah, gerakan tangan mengusir sambil mendorong.
“Move it!”
“Move it!”
Kemudian, kru dari Java datang, memberi tahu dengan sopan kalau jatah sudah habis.
Saya pindah ke daerah festival. Di bagian belakang, ternyata ada anak-anak Samsons. Bams datang menyapa. Saya lantas melakukan perbuatan bodoh. Berbicara waktu konser berlangsung. Serba salah memang. Bertemu dengan orang di konser. Keinginan untuk berbasa-basi pasti ada. Tapi, bahkan berteriak pun, percakapan sulit sekali didengar.
Samar-samar, saya dengar Bams berbicara,
“Gue suka album mereka yang sekarang. Padahal, yang pertama, gue caci maki,” katanya.
Dan beberapa kali kami terlibat pembicaraan.
Brang breng brong.
Waaaa waaa waaaa.
Musik Fall Out Boy memenuhi telinga.
Bams berbicara lagi. Saya mencoba mendekatkan telinga untuk mendengar ucapannya.
Brang bring brong.
Waaaa waaa waaa.
Saya hanya tersenyum, “Oooh iya.”
Bams bingung. Dia tersenyum.
“Eh, tadi elu ngomong apa?” saya berteriak di kuping Bams.
Dia mengulang ucapannya. Saya dekatkan lagi kuping saya. Tetap tak terdengar.
Sepanjang konser, Bams memuji-muji Fall Out Boy. Saya beberapa kali mencoba berempati, dengan mengatakan hal-hal yang bagus soal Fall Out Boy dan kedatangannya.
“Java pas banget ngajak mereka sekarang. Soalnya mereka lagi naek daun,” kata saya setengah mati berbicara di tengah konser.
“Iya, vokalisnya bisaan. Masih bisa nyanyi, sambil ngegitar, sama kadang-kadang loncat-loncat,” teriak saya.
“Drummernya jago ya?” kata Bams.
“Ya ya,” jawab saya sambil tersenyum.
Kalaupun jelek, saya tak akan bilang jelek saat itu. Karena akan merusak mood seorang penggemar yang sedang menikmati suasana asik. Bahkan saya tak bilang kalau Fall Out Boy, biasa saja. Walaupun harus diakui, kalau mereka memang ganteng. Terutama si Pete Wentz. Saya bisa mengerti kalau banyak remaja putri histeris.
Tak satu pun lagu F O B yang menarik buat saya. Kecuali pada saat mereka membawakan “Basket Case” dan “Beat It” di depan sebagian besar crowd yang saya rasa, masih balita waktu Green Day membawakan lagu itu. Dan sebagian besar crowd yang mungkin tak pernah tahu kalau Michael Jackson pernah berkulit hitam.
Tak ada encore malam itu. Mungkin karena sudah dibuat encore yang diatur di tengah-tengah set. Diatur di sini, dengan cara bagus. Mereka keluar panggung sebentar. Lantas, seorang berbadan besar kita sebut saja Fat Bastard mencoba memanaskan suasana. Si Fat Bastard, yang dari jauh mengingatkan saya pada Moeg Moeg [itu loh, si badan besar yang suka mengurusi band Siksa Kubur atau Straight Out ya lupa], berteriak, mengomando ribuan remaja.
“We want F O B!”
“We want F O B!”
Atau, teriaknya begini ya?
“We want more!”
“We want more!”
Ah, saya lupa. Yang jelas, ada adegan Fat Bastard mengomando ribuan remaja untuk memanggil kembali idola mereka.
Setelah total 20 lagu, dalam waktu kira-kira satu jam, pertunjukkan berakhir. Sebelum berakhir, di luar pintu, beberapa remaja kepayahan. Beristirahat. Badannya berkeringat. Sebagian besar dari mereka remaja putri.
Beberapa musisi lokal terlihat di antara kerumunan. Gigi tanpa Budjana, Audy, gitaris Cokelat yang adiknya itu loh, dengan pacarnya Nirina, VJ Daniel dengan VJ baru yang terlihat seperti pacarnya karena sangat mesra, Abdee Slank, dan entah siapa lagi.
Di luar, saya bertemu rombongan Ricky, Toby dan Fajar.
“We’ve been emo-ed!” kata Ricky cengengesan.
Dan begitu mendengar Ricky berkata itu, saya tahu harus menulis apa untuk judul di multiply saya.