Pengemis di Pagi Hari
Tapi, belakangan ini, saya mulai mempertanyakan tuduhan pemalas itu. Bukan apa-apa. Sebulan setengah terakhir ini, saya menyaksikan sesuatu yang belum pernah saya saksikan sebelumnya.
Pengemis pergi ke “tempat kerja”. Saya pernah menulis soal ini. Pengemis di jembatan penyeberangan depan Plaza BII Thamrin. Nah, jembatan itu adalah tempat kerjanya. Dan ternyata, salah seorang pengemis itu–perempuan setengah baya, yang terlihat masih segar, namun dengan baju yang lusuh–datang pagi-pagi sekali ke sana.
Setengah enam pagi, ibu itu biasanya sudah datang ke jembatan. Langit Jakarta masih gelap. Udara masih dingin. Jalan Thamrin masih agak sepi. Tapi, si ibu sudah duduk di jembatan. Mengharap belas kasihan dari orang yang lewat.
Beberapa kali, si ibu itu bahkan datang bersamaan dengan saya–yang belakangan ini harus bangun pagi dan kerja pagi. Bahkan, saya sering kali masih tidak semangat pergi sepagi itu. Tapi, si ibu itu selalu terlihat berjalan dengan semangat ke atas jembatan. Setidaknya, dari ayunan kakinya yang tidak gontai.
Ketika itulah, saya berpikir ulang soal definisi pemalas. Kalau ibu itu mau bangun pagi, dan siap-siap duduk di jembatan penyeberangan, setiap hari kerja, mengharap belas kasihan, apakah itu pemalas? Katanya, orang yang selalu bangun pagi, bukan pemalas.
Mungkin, tidak semua pengemis serajin ibu itu. Tapi, kalau dipikir-pikir, toh semua pengemis juga masih mengeluarkan tenaganya untuk meminta-minta. Untuk beberapa hal, mereka tidak sepemalas seperti yang orang kira. Seperti yang saya kira. Atau, mungkin seperti yang kamu kira.
Salam,
0 Comments