Susahnya Memilih
Milih baju. Milih makanan. Milih pasangan. Milih presiden. Milih partai. Dan sejuta pilihan lain yang harus kita ambil tiap hari. Tapi, kadang-kadang menentukan pilihan itu tidak semudah yang kita bayangkan. Apalagi memilih sesuatu yang tidak sederhana.
Saya mengalami itu sekarang.
Milih mana? Terus jadi penyiar, tapi tinggalkan pekerjaan jadi jurnalis–di majalah yang harus saya akui, masih amat sangat nyaman? Atau, terus jadi jurnalis, tapi tinggalkan karir penyiar yang baru saya rintis–pekerjaan yang juga pernah saya impikan, yang sekarang sepertinya begitu mulus datang kepada saya.
Pihak radio, menjanjikan kepuasan finansial. Setidaknya, lebih dari yang saya terima di majalah. Sementara, pihak majalah, hanya menjanjikan pengangkatan jadi karyawan. Tidak lebih.
Sekarang, saya harus memilih. Tinggalkan salah satu. Padahal, saya dulu pernah berniat, tidak akan mau menerima tawaran meninggalkan majalah ini, apapun bentuknya. Minimal harus satu sampai tiga tahun kerja. Itu yang pernah terlintas di kepala saya, ketika diterima kerja di majalah ini. Dan sekarang, kesungguhan akan niat itu sedang diuji Tuhan.
Benar-benar dilema. Dua-duanya adalah mimpi saya. Dan ternyata, saya tau sekarang, kalau tidak selamanya mimpi itu mudah didapat. Kalaupun mungkin, awalnya seperti mudah didapat. Dua pekerjaan ini. Tapi, ternyata kini saya menghadapi saat-saat paling sulit dalam hidup saya.
Ini tidak semudah memilih makanan. Karena, apapun pilihan saya, masa depan saya dipengaruhi ini. Dan itu yang berat. Memikirkan masa depan. Walaupun rejeki sudah diatur, tetap saja, saya bicara masa depan! Walaupun seringkali, saya tidak terlalu pusing memikirkan masa depan, saya tidak mau salah menentukan pilihan.
Tapi, ini berat. Benar-benar berat.
0 Comments