Saya Tamu yang Pemalu
Sampai sekarang, baru empat kali saya datang ke rumah pacar saya. Nah, jam terbang yang sedikit ini tentu saja berpengaruh pada tingkat kegugupan saya. Banyak hal terlintas di kepala. Tapi rasanya yang paling banyak, soal apakah mereka akan menerima saya juga. Seperti halnya pacar saya.
“Perjuangan” itu tidak berhenti sampai diterima jadi pacar, mempertahankan hubungan dan seterusnya. Tapi, juga mencoba diterima di keluarga pacar. Ini suatu perjuangan yang tidak mudah. Oke, mendapatkan hati satu orang saja, sepertinya berat, apalagi mendapatkan hati satu keluarga.
Pacar saya, adalah keluarga besar. Empat kakak beradik. Dia bungsu. Kakak-kakaknya sudah berkeluarga. Kakak pertama, beranak dua. Kakak kedua juga. Kakak ketiga, sayangnya keguguran, jadi belum punya anak.
Pada kunjungan pertama–waktu itu belum jadi pacar–saya bertemu hampir semua keluarga besar mereka. Kakaknya yang pertama dan suami serta anak-anaknya, Kakaknya yang ketiga, serta–ini dia nih–Ibu bapaknya. Bisa dibayangkan betapa gugupnya saya. Gila. Kunjungan pertama, sudah bertemu dengan keluarga besarnya.
Bayangkan. Saya ada di ruang keluarga. Di depan TV. Duduk di sebelah [waktu itu calon] pacar saya. Sementara itu, anggota keluarganya di sekeliling saya. Biasalah keluarga. Ngobrol. Alhamdulillah, saya bisa melewatinya dengan baik. Setidaknya menurut saya.
Kunjungan ke-dua, agak menegangkan. Karena saya pulang sekitar pukul sebelas malam. Dan bapaknya, waktu itu sudah mengkhawatirkan pacar saya. Karena dari pagi, dia belum bertemu. Tapi saya terbebas juga.
Kunjungan ke-tiga, di bulan puasa. Saya buka puasa bersama mereka. Menyantap makanan di meja makan mereka. Ini juga membuat saya grogi. Takut cara makan saya berantakan atau tidak pantas. Hehehe. Tapi saya bisa melewatinya juga.
Kunjungan ke-empat, kemarin. Saya sudah lumayan kurang grogi. Seperti biasa, rumahnya selalu penuh. Tapi, saya agak tenang. Karena sambutan mereka selalu hangat. Dan ketika duduk di ruang keluarga. Di depan TV. Saya tidak segugup ketika pertama kali.
Walau begitu, saya masih menganggap bapak pacar saya, jaga wibawa. Karena anggota keluarga yang lain, yang perempuan sikapnya jauh lebih hangat dibandingkan sang bapak. Tapi, saya bisa mengerti kok. Dia kepala keluarga. Dia adalah laki-laki di rumah itu. Tentu saja, dia harus menunjukkan siapa yang berkuasa. Setidaknya itu pikir saya.
Untung, sang bapak tidak terlalu dingin. Tidak hanya, menjawab “hmmm” ketika ditanya. Sudah lumayan berbasa-basi. Tapi “perjuangan” belum selesai. Masih jauh dari selesai. Dan saya yakin, masih banyak di luar sana, yang juga berjuang. Mencoba mendapatkan hati satu keluarga.
Untuk mereka, saya ucapkan semoga sukses.
0 Comments