Rock Show, Punk Srimulat, dan Wisata Misteri
Jalan-jalan atas biaya orang lain memang selalu menyenangkan. Sabtu hingga Selasa kemarin, saya jalan-jalan lagi bersama rombongan Seringai.
Hari 1 [25/8] : Solo
Bandara Adi Sumarno, adalah bandara terkecil yang pernah saya datangi. Bahkan Stasiun Gambir lebih luas dari itu. Ini pertama kali saya naik pesawat ke Solo. Entah karena factor jalur bandara yang pendek, faktor pilot atau faktor usia pesawat yang membuat pendaratan pesawat tidak mulus. Ah, saya benci terbang.
Ini kota pertama dari rangkaian mini tur Seringai dalam rangka promo album “Serigala Militia.” Begitu kami datang ke Solo, CD belum bisa dibawa, karena belum selesai dicetak. Sore hari, Alex, salah seorang kru dari manajemen datang membawa CD tersebut. Seringai main di acara Rock in Solo bersama Burger Kill dan band-band lokal lainnya. Ini kali kedua mereka main di acara Rock in Solo.
Saya baru kali ini, melihat rock show di velodrom [alias tempat balap sepeda]. Rasanya begitu juga dengan orang-orang Solo. Walaupun panggungnya biasa saja, apalagi pagar pembatasnya, tapi acara itu sepertinya cukup sukses kalau ukurannya jumlah penonton. Saya tak tau pasti, tapi dari atas panggung, velodrom itu terlihat penuh. Begitu juga dengan parkiran motor.
Seringai melakukan sesi wawancara di Solo Radio. “Kami sebenernya bukan siaran di jam ini, tapi karena Seringai yang mau dateng, kami diminta siaran. Soalnya, Seringai kan banyak orang media,” kata salah seorang dari penyiar itu.
Reputasi Seringai di radio daerah rupanya cukup mengerikan juga, sebagai narasumber. Ada salah satu radio [saya lupa nama radionya, dan di kota mana], yang tak mau didatangi Seringai, karena khawatir mereka mendominasi siaran, atau mungkin mengintimidasi.
Hari pertama sudah melelahkan. Baru tidur tiga jam, kami harus berangkat lagi. Jam enam pagi, kami meluncur ke Semarang.
Hari 2 [26/8]: Semarang
MOSH! Magazine yang mengundang Seringai. Ini majalah musik buatan anak-anak Semarang. Owner-nya, Suryo masih kuliah di Universitas Diponegoro. Pemiliknya dia bersama seorang teman. Tata letak majalah itu, terlihat sangat terpengaruh Ripple.
Venue-nya ada di kawasan kota lama Semarang. Kalau kamu tau sungai di area kota tua itu, nah venue-nya ada di salah satu bangunan di dekat sungai itu. Sepertinya itu juga merangkap sebagai studio untuk syuting. Kecil, tapi asik. Mengingatkan pada suasana Parc. Acara digelar dari tengah hari, hingga sebelum jam lima sore. Kata Suryo, setiap ada acara di sana, memang selalu berakhir sore hari. Ada hubungannya dengan preman-preman lokal. Saya lupa tepatnya karena apa.
Kalau di Solo, crowd-nya tidak banyak bergerak, hanya sebagian kecil saja [entah karena sudah terlalu lelah digeber Burger Kill, atau karena lapangan yang berdebu membuat orang-orang berpikir dua kali untuk loncat-loncat], di Semarang semua enerjik. Semua melompat. Semua bernyanyi. Saling tubruk. Tapi, tak ada yang emosi. Menyenangkan sekali. Rupanya mereka sudah tau benar seperti apa rock show.
Alex mencoba curi perhatian di sana. Dia yang ditugaskan menjual merchandise, begitu kami datang, malah terlihat di panggung. Nimbrung bersama dua MC perempuan yang garing, tapi jadi dimaafkan karena postur tubuhnya. Hehe. Di tengah-tengah lagu “Alkohol,” Alex menyemprotkan bir dari lantai atas. Dan dia pun lompat ke tengah crowd, dan melakukan crowd surfing. Untuk sesaat, perhatian crowd tertuju pada Alex. Satu lagi pemandangan crowd surfing yang menarik adalah ketika seorang remaja putri, tiba-tiba crowd surfing. Kami terpikat.
“Kriiik…Kriiik.”
Ingat film Warkop? Ada salah satu episode di mana mereka berkata ‘Jangkrik bos,” pada sang bos yang doyan perempuan. Nah, kode itu, juga kami pakai untuk saling memberi tahu kalau ada perempuan menarik terlihat. Semakin cantik perempuan itu, “Jangkrik” atau “Krik” akan semakin tegas. Atau, kalau sudah sangat cantik, maka [gunakan logat Perancis] Le Jean Crique akan dipakai.
Rombongan The Upstairs juga bermain di Semarang, sehari sebelumnya. Wenz mengabarkan kalau mereka mengunjungi Lawang Sewu dini hari itu. Kami jadi ikut penasaran. Apalagi kalau mengingat mereka berani datang ke sana, masa’ rombongan Seringai tak berani?
Masa’ Disko Doom kalah sama Disko Darurat?
Apalagi sebelum berangkat ke Lawang Sewu, kami baru tau kalau semua kru Seringai pernah merasakan sel. Ada yang pernah menusuk orang, serta ada yang pernah ditusuk. Alex [yang mengaku sebagai punk fashion karena harus dandan dulu setelah mandi], pernah masuk sel selama 12 hari karena pengeroyokan. Dia pernah menusuk orang, gara-gara dipalak. Jam tangan pemberian bapaknya dipalak orang, karena sakit hati, dia menusuk paha orang itu, lalu lari.
“Gue nggak berani nusuk dada, takut orangnya mati,” kata Alex.
Roni [teknisi gitar yang berwajah mirip Eross], Joni [teknisi bass], dan Pacung [teknisi drum], semuanya anak STM. Sebagai siswa STM tahun ’90-an mereka pernah terlibat tawuran dan pernah merasakan sel.
Joni, anak STM Karya Nugraha, pernah masuk ke dalam Metro Mini, membawa clurit, dan membabat anak-anak Boedoet yang ada di dalamnya. Joni juga pernah ditusuk dari belakang. Pacung anak STM Penerbangan. Roni, saya lupa. Yang jelas, Roni juga pernah diciduk aparat karena terlibat tawuran.
“I love my crew!” kata Khemod sambil tertawa ketika mendengar cerita mereka.
Makanya, masa’ berkelahi sering, tapi takut sama hantu? Dan berangkatlah kami ke Lawang Sewu. Rasanya cuma Arian dan Dawo yang tidak takut di sana. Kami sih, cukup terintimidasi. Begitu menyusuri bangunan yang sebenarnya indah secara arsitektur itu, kami berjalan dengan saling merapat. Mungkin kalau mau membentuk kekompakan kelompok, masuk tempat seperti Lawang Sewu bisa dicoba.
Percaya tidak percaya sebetulnya. Saya dan beberapa orang termasuk yang percaya kami melihat sesuatu. Sosok putih, seperti kain melayang-layang naik turun di ujung lorong. Arian yakin kalau itu hanya pantulan dari cahaya di luar.
Selain itu, saya tak melihat apa-apa. Padahal, kata anak MOSH! yang sebelumnya mengantar The Upstairs [minus Jimi, yang katanya takut dan memilih tinggal di hotel], mereka melihat banyak hal; kuntilanak, sosok yang ngesot, hingga genderuwo.
“Yang dateng setan juga, jadinya setannya nggak berani,” kata Dawo tertawa.
Pulang dari Lawang Sewu, kami menemukan dua punk rock terkapar di Wisma. Sebelumnya mereka mengocok perut kami karena kelakuannya. Begini jadinya kalau menggabungkan dua punk kocak dengan dua botol anggur.
“Gue nggak tau artinya punk apa. Ini juga gara-gara disuruh temen. Udah, elu jadi punk aja. Eh taunya nggak enak jadi punk. Ke mana-mana harus naek truk,” kata Munir sambil mabuk.
Mereka terkapar hingga pagi hari.
Hari 3 [27/8]: Jogja.
Di perjalanan menuju Jogja, salah satu mobil yang membawa alat-alat ditilang polisi, dengan alasan kelebihan beban. Dia meminta uang, tapi si panitia memilih tilang. Sampai di Jogja, rutinitasnya lagi-lagi serupa. Sound check, dan wawancara radio sebelum manggung. Baru tiga hari saja, sudah melelahkan. Saya tak bisa membayangkan bagaimana rasanya band yang tur 30 kota, dengan rutinitas yang begitu-begitu saja.
Liquid nama club tempat Seringai manggung malam itu. Belum pernah ada rock show digelar di sana. Kata Gufi, salah seorang panitia, acara malam itu merupakan presentasi panitia. Kalau mereka bisa mendatangkan 500 orang, mereka boleh mengadakan rock show lagi di sana.
Ternyata, 520 orang yang datang malam itu. Mas General Manager tersenyum puas.
Pulang dari Liquid, kami dibawa ke tempat makan. Kami menumpang mobil yang disupiri gitaris Southern Beach Terror, Bowo. Dia cukup absurd juga penampilan panggungnya. Banyak terkekeh seperti Beavis and Butthead. Di mobil, dia memutar lagu AC/DC.
Saya tak pernah mengira akan mengalami itu, tapi akhirnya terjadi juga.
Diiringi lagu-lagu dari AC/DC, kami mengangguk-anggukan kepala dan bernyanyi. Seperti adegan di film Wayne’s World atau film-film lain tentang dogol-dogol pecinta musik rock.
Tapi tetap saja, biarpun musiknya keras, adegan itu berlanjut dengan adegan makan gudeg.
Selasa siang, kami pulang. Jadwal pesawat Wings Air yang kami naiki rencananya 12.55. Begitu sampai di bandara, jadwal ditunda jadi 14.30. Kami mengunjungi Ambarukmo Plaza. Saya jadi teringat wawancara dengan Butet. Dia bilang, meskipun anak-anak Jogja maennya ke Ambarukmo Plaza, tetap saja, mereka makannya di angkringan.
Itu kunjungan pertama Gufi dan kawan-kawan.
“Ini jadi salah mesen minuman,” kata Gufi sambil tertawa ketika saya makan di food court.
14.10 sudah di bandara lagi. Ternyata, jadwal ditunda lagi menjadi 15.30.
16.00 pesawat belum juga tiba.
17.10 pesawat baru mendarat.
18.00 pesawat baru siap-siap take off.
19.00 ketika roda pesawat belum menyentuh landasan, HP salah seorang penumpang berbunyi.
Ah, rasanya pengen menampar bapak itu. Tapi karena terlalu lelah, bahkan tenaga untuk memarahinya pun malas saya keluarkan.
0 Comments