Berhenti di Margo City
Saya tak paham banyak soal scene skateboard lokal, tapi yang saya tahu, skate park termasuk barang langka.
Kalau Iwan Fals di lagu “Mereka Ada di Jalan” bilang, anak kota tak punya tanah lapang, maka sekarang, sepertinya anak kota juga tak punya skate park. Sebagai orang awam, yang saya tahu, skate park di Jakarta yang lokasinya relatif mudah dijangkau adalah skate park Kemang, yang sekarang berubah jadi Kemang Food Fest. Mungkin dijadikan tempat jajanan lebih menguntungkan secara finansial. Di Bandung pun, skate park Taman Lalu Lintas sudah hilang. Yang saya tahu, di Buqiet memang ada skate park. Tapi, lokasinya relatif jauh dari pusat kota.
Begitu pula, skate park yang saya datangi, Minggu [11/5] siang kemarin, di Margo City, Depok. Memang, dari Jakarta Selatan lokasinya tak terlalu jauh. Hanya sekira empat puluh menit perjalanan dari kawasan TB Simatupang. Tapi, tetap saja, karena lokasinya termasuk kawasan Depok, secara psikologis itu jadi terasa jauh. Sejak masih jadi siswa SMP di Cibinong, mendengar nama Depok yang terbayang adalah perjalanan yang cukup jauh dengan bis kota. Ternyata, kesan jauh itu masih saja melekat di benak saya. Selain tentu saja, kesan Kota Satelit, Kota Administratif dan entah sebutan apa lagi yang ada buat Depok.
Mungkin, satu lagi sebutan buat Depok, adalah Kota Spanduk. Pendatang dari arah Jakarta, akan disambut dengan banyak spanduk di kanan kiri jalan. Promo acara. Iklan produk, hingga Iklan Layanan Masyarakat semua menghiasi kanan kiri jalan. Dinas Pendapatan Daerahnya, pasti punya pemasukan yang cukup besar dari spanduk dan billboard.
Ada satu spanduk yang tak penting dan seperti menyia-nyiakan uang saja. Spanduk atas nama Suzuki dan entah Polda entah Ditlantas.
“Siapapun Bisa Celaka, Kalau Tidak Hati-hati!”
Oke. Apa maksudnya ya? Itu sama saja mengatakan, “Siapapun Bisa Basah, Jika Terkena Air Hujan.”
Saya melihat spanduk itu di beberapa titik ketika menuju Margo City–yang terletak hanya sekira sepuluh menit dari gerbang Depok. Kota itu sepertinya membutuhkan copy writer yang baik.
***
Saya tak tahu, bagaimana pendapat mereka yang memang bermain skate board soal skate park Margo City. Tapi, kesan pertama saya datang ke sana, tempat itu panas! Skate park-nya ada tepat di depan Margo City. Tak ada pepohonan di sana. Mungkin karena saya datang tengah hari, matahari terasa lebih terik. Walau begitu, saya cukup takjub, mengetahui pengelola pusat perbelanjaan mau memberikan sebagian halamannya untuk skate park.
Volcom menggelar Volcom Stone’s Wild In The Park, hari itu. Kompetisi skate board ini selalu diramaikan band. Dan ada dua nama, yang biasanya selalu jadi bintang tamu; Shaggy Dog dan Rocket Rockers. Dan hari itu, ditambah Seringai. Volcom meng-endorse mereka.
Saya kurang tahu, sekarang ini, Volcom aktif meng-endorse band mana lagi. Yang jelas, tiga nama itu yang paling identik dengan Volcom. Dirasa cocok dengan slogan “Youth Against Establishment” versi Volcom.
Bisa jadi, endorsement adalah salah satu hal positif dari punya band. Yah, minimal urusan remeh temeh macam membeli kaos kaki, celana, atau kaos sudah teratasi. Apalagi jika di-endorse produk macam Volcom, yang kisaran harganya di atas rata-rata produk lokal. Mendapat persediaan barang-barang seperti itu tiap bulan, tentunya merupakan hal yang menyenangkan.
Walaupun, ada beberapa endorsement yang malah membuat band terlihat menggelikan. Kalau diperhatikan, tipikal pop band mainstream, pasti memakai clothing line lokal. Dari satu band, kadang ada satu clothing line untuk satu personel. Kalau desainnya bagus sih, tak apa-apa. Tapi, sering kali, desain kaos mereka tak bagus, akhirnya membuat penampilan band itu semakin tak menarik.
Pas Band dengan merk Skater, bisa jadi contoh. Mereka adalah billboard berjalan dari Skater. Saya tak tahu sejak kapan mereka di-endorse Skater. Yang jelas, imej Pas Band sekarang identik dengan Skater. Hanya Trisno yang masih bisa lumayan memertahankan karakter pribadinya. Agaknya, kabar yang mengatakan Skater membayar mereka per bulan agar mau memakai pakaian merk Skater terus adalah benar adanya. Yah, sepertinya jumlah uangnya cukup menggiurkan hingga mereka mau terus melakukannya.
Entah mana yang lebih diuntungkan, produk atau band yang di-endorse. Saya juga penasaran dengan seberapa signifikan pengaruhnya terhdapa penjualan. Saya pernah mendengar kabar kalau yang memakainya Ariel Peterpan, pengaruhnya cukup signifikan. Kaos yang dipakai Ariel di teve, konon besoknya langsung diburu pembeli. Awalnya, saya tak percaya dengan kabar kalau musisi macam Ariel, bisa datang ke toko kapanpun dia mau, dan mengambil kaos manapun yang dia suka. Tapi, satu waktu, saya pernah menemani Bams SamsonS ke distro-distro di Bandung. Ternyata kabar itu benar adanya. Semua distro merelakan Bams mengambil pakaian manapun yang dia inginkan. For free! Padahal, dari semua orang yang datang ke distro hari itu, harusnya Bams termasuk yang tak punya persoalan finansial dalam membeli produk mereka.
Sepertinya, semua toko itu menganggap, kalau produk mereka dipakai Bams akan punya pengaruh signifikan terhadap penjualan.
Nah, untuk produk mahal macam Volcom, saya tak tahu bagaimana pengaruhnya terhadap penjualan. Kalau kita ambil contoh event hari Minggu itu saja, dari sekian ratus remaja yang datang, berapa persen yang akhirnya membeli produk Volcom asli, yang nota bene harganya beberapa kali lipat dibanding produk lokal? Jangankan memberi produk Volcom yang mahal, membeli kaos Seringai asli saja, sebagian dari mereka enggan melakukannya. Atau mungkin, itu target jangka panjang Volcom.
Yang membuat saya penasaran lagi, adalah apakah ada fans berat Arian, yang kemudian akhirnya memakai produk Volcom? Pasalnya, Arian sudah di-endorse oleh Volcom sejak masih di Puppen. Lamanya hubungan asmara antara Arian dengan Volcom, sampai saat ini, rasanya masih belum bisa dikalahkan oleh hubungan asmara Arian dengan perempuan manapun. Hehe.
Ah, seandainya ada endorsement untuk jurnalis, pasti akan menyenangkan sekali. Apalagi, untuk seorang cheap bastard seperti saya. :p
0 Comments