Java Jazz 2009: Festival [Not] For All
Setiap tahun, saya datang ke Java Jazz.
Tapi, setiap tahun juga saya tak terlalu menikmati festival ini. Hanya tahun pertama yang berkesan buat saya, karena menonton The God Father of Soul James Brown dua kali! Tahun ini, rasanya yang paling tak menyenangkan, jika saja tak ada Slank di sana.
Tahun lalu, meskipun saya tak tahu siapa yang harus ditonton karena sangat awam dengan musik jazz, setidaknya festival itu masih enak buat dipakai jalan-jalan. Tahun ini, Java Jazz yang digelar dari 6 – 8 Maret 2009, bahkan untuk jalan-jalan dan melihat pemandangan pun, sudah tak nyaman. Lorong-lorong di sepanjang Jakarta Convention Center sudah terlalu padat oleh orang. Saya tak tahu berapa banyak tiket yang terjual tahun ini. Sepertinya sih, jika diukur dari tingkat kepadatan penonton, tahun ini lebih banyak dibanding tahun lalu. Entah panitia menyebar tiket lebih banyak, entah memang animo masyarakat terhadap festival ini sudah lebih tinggi.
Seorang kawan mengeluhkan karena dia harus menonton Swing Out Sister dini hari. Waktu yang sudah tak nyama lagi untuk menyaksikan konser. Dia pulang pukul setengah tiga pagi. Padahal, di jadwal tertulis pertunjukkan itu harusnya dimulai pukul sebelas malam. Mungkin karena waktu soundcheck yang membuatnya harus molor. Maklum, rata-rata setiap penampil, melakukan soundcheck sebelum manggung. Tapi, kalau begini, kasihan mereka yang sudah membeli tiket mahal dan akhirnya harus pulang di lagu ketiga atau keempat karena membawa anak dan waktu sudah terlalu larut.
Tahun ini, bahkan untuk sekadar duduk-duduk di lantai melepas lelah pun sudah tak bisa. Akhirnya, festival jazz untuk orang awam jazz seperti saya adalah selalu begini: mendatangi satu panggung lalu pergi ke panggung lagi dan ke panggung lagi. Kali ini, jadi lebih susah karena untuk jalan dari satu panggung ke panggung lainnya saja sudah repot. Akhirnya, begitu sampai di satu panggung, sudah banyak orang dan biasanya penampilannya sudah beres, dan ketika saya mendatangi panggung lain, di sana sudah banyak orang. Begitu sampai, ternyata musiknya tak terlalu enak buat selera saya, apalagi bagi saya musik jazz enak dinikmati sambil duduk santai. Yang ada, adalah berdesak-desakan sambil bertanya-tanya siapa gerangan yang sedang bermain di sana. Mungkin juga karena kali ini ada Jason Mraz yang dua hari konser di sana tiketnya ludes, bahkan di calo sudah menembus angka 1,2 juta!
Saking awamnya saya dengan musik ini, ada satu kejadian bodoh. Ketika di salah satu ruangan paling besar, saya lupa namanya, Plennary kalau tak salah, ada seorang musisi yang sepertinya diminati banyak orang. Antrian begitu panjang sudah terlihat sebelum musisi itu tampil, dan sebelum pintu dibuka.
“Eh ini ngantri apaan sih?” kata saya kepada seorang teman.
“Pemain piano,” jawabnya.
“Iya, siapa?” kata saya lagi.
“Pemain piano,” jawab dia lagi.
Lalu saya berkeliling lagi, dan bertemu lagi teman yang lain.
“Mau nonton yang di situ ya?” kata saya merujuk pada antrian ke Plennary.
“Iya, pemain piano,” kata dia.
“Siapa?” kata saya penasaran.
“Pemain piano,” jawabnya.
Belakangan, saya tersadar bahwa saya salah dengar, dan yang tadi mereka bilang adalah, Matt Bianco, bukannya pemain piano.
Kali ini, beruntung ada Slank—main Sabtu [7/3], yang musiknya masih bisa saya nikmati. Saya tak mempermasalahkan jika festival jazz memasukkan beberapa nama di luar jazz. Memang, saya sempat merasa sedikit mencibir ketika beberapa nama di luar jazz main di sana, tapi setelah dipikir-pikir, bahkan The Rolling Stones pun pernah main di festival jazz saya lupa tepatnya yang jelas sepertinya tahun ’60-an. Dan bahkan Deep Purple pun pernah main di festival jazz.
Dan Slank, memainkan banyak lagu yang jarang dan tak pernah dimainkan sebelumnya untuk festival ini. Menjadikan penampilan mereka di sana berbeda dengan panggung lain. Plus, tak ada bendera Slank berkibar kali ini. Slank ditemani tiga orang penyanyi latar, pemain brass, serta pemain Hammond. Melihat pemandangan itu, rasanya Slank perlu mempertimbangkan untuk mengajak beberapa musisi tamu supaya ada kesegaran di panggung mereka. Karena nyatanya, panggung di Java Jazz menunjukkan bahwa konser mereka terdengar lebih penuh dan jauh lebih menarik dengan kehadiran musisi pendukung.
Slank membawakan beberapa lagu yang kental dengan atmosfir funk dan blues yang memang sangat tepat diberi aksen brass section dan pemain hammond. Hanya sayangnya, vokal Kaka sepertinya kurang prima sore itu. Sepertinya, beberapa kali Kaka terdengar sedang bermasalah dengan tenggorokannya. Kalau saja Kaka tampil dalam kondisi yang maksimal, penampilan Slank sore itu akan jauh lebih menarik.
“Gimana? Pantes kan Slank main di Java Jazz? Pantes kan?” kata Kaka kepada penonton.
Mungkin mereka sempat mengkhawatirkan pendapat orang yang akan mencemooh soal Slank tampil di sana.
“Peter Gontha minta kami buat main di sini, dia pengen ngelihat gimana kalau kami main di Java Jazz,” kurang lebih begitulah kata Kaka saya juga lupa pasti kalimatnya, “ini pertama kalinya Slank main dengan penonton yang lebih banyak perempuan wangi. Anti keringat!” Kaka tertawa.
Beberapa penonton perempuan di dekat saya, berteriak kegirangan melihat Slank. Saya tak tahu apakah perempuan-perempuan itu memang menyukai Slank atau senang karena pertama kali menyaksikan Slank. Mungkin juga, sebagian dari mereka memang ingin menyaksikan Slank tapi karena selama ini panggungnya identik dengan penonton Slankers yang penampilannya berantakan dan selalu di lapangan yang akan membuat keringat bercucuran, penonton jenis itu mengurungkan niat mereka tampil.
Setidaknya, panggung sekelas Java Jazz akan menguntungkan buat Slank dan penonton. Slank bisa tampil di banyak penonton baru. Dan mereka yang selama ini malas datang ke pertunjukkan Slank, bisa menonton dengan nyaman dan rasa aman.
Ah sudahlah, saya harus akhiri tulisan ini. Sekarang lagi deadline. Tugas utama belum terselesaikan. Hehe. Ini sebagian foto yang bisa saya ambil. Saya tak banyak mengambil foto panggung, karena memang tak banyak menonton. Bahkan Tika yang memberi info soal penampilan dia saja, tak sempat saya tonton karena saya selalu tersesat ketika mencari panggung. Begitu sampai di panggung yang dimaksud Tika, pertunjukkan terlanjur bubar.
Ini sebagian foto yang bisa saya ambil, dan sebagian orang yang saya temui di sana.
0 Comments