Waspadai Punahnya Bahasa Daerah
Saya ini orang Sunda tulen.
Meskipun rahang persegi, intonasi bicara kadang meledak-ledak, dan seringkali straight forward ketika mengeluarkan opini, hingga sering dikira sebagai orang Batak [bahkan oleh orang Batak], tapi saya ini Sunda tulen. Orang tua saya, dua-duanya berdarah Sunda. Leluhur saya berasal dari Bandung dan Garut.
Tidak, tulisan ini bukan mau membanggakan suku Sunda.
Saya mau bicara soal bahasa daerah. Berapa banyak di antara Anda yang membaca tulisan saya ini bisa berbahasa daerah? Coba pikirkan. Kalau dilihat berdasarkan garis keturunan, ada darah apa yang mengalir di sana? Atau, secara psikologis, Anda merasa sebagai orang apa? Soalnya, banyak teman saya yang bapak ibunya berdarah Jawa atau Batak atau Padang, tapi karena tumbuh besar di Bandung, mereka merasa sebagai orang Sunda dan fasih berbahasa Sunda. Istilahnya sih, sudah dinaturalisasi oleh tanah Pasundan. Hehe.
Saya rasa, makin lama, makin jarang anak kecil yang berbahasa daerah.
Ini memang masih analisa dangkal saya saja, yang hanya membandingkan dari anak-anak kecil di Bandung di lingkungan rumah saya. Sepupu-sepupu saya, bersama pasangannya, semua berbahasa Sunda, tapi kepada anak-anaknya, mereka tak berbicara bahasa Sunda. Padahal, katanya, yang penting itu kan bahasa ibu. Kalau pasangannya terdiri dari dua suku yang berbeda dan mereka tak mengajak bicara daerah ke anaknya sih, ya masih bisa dimaklumi. Ini mah, di rumah, orangtuanya berbahasa Sunda, tapi anak-anaknya diajak bicara bahasa Indonesia.
Pernah saya tanya ke mereka, alasannya: bahasa Sunda mah bisa belajar di pergaulan. Kalau semua orangtua berpikir sama, maka anak-anak kecil di Bandung, yang nota bene tanah Sunda, malah akhirnya tak berbicara bahasa Sunda. Saya tak bicara bahasa Sunda kepada anak, karena Tetta, istri saya memang bukan orang Sunda, dan dia tak bisa bicara bahasa daerah, meskipun ibunya fasih berbahasa Padang, dan bapaknya fasih berbahasa Jawa. Yah maklum, lahir dan besar di Jakarta.
Tak usah bicara Jakarta lah. Di Jakarta, meskipun tanah Betawi, tapi itu tak bisa dibilang bahasa daerah kan. Soalnya, tak ada pelajaran bahasa Betawi di sekolah-sekolah. Iya kan? Maaf loh, kalau saya salah. Tapi harusnya, kalau bahasa Betawi diakui sebagai bahasa daerah, masuk kurikulum seperti di daerah lain. Atau mungkin karena bahasa Betawi mirip dengan bahasa Indonesia ya, cuma dialeknya yang berbeda, jadi tak dianggap perlu dimasukkan ke dalam pelajaran bahasa daerah.
Eh iya, masih ada nggak ya? Pelajaran bahasa daerah di sekolah? Yah meskipun itu tak membuat mereka yang tak bisa berbahasa daerah jadi fasih berbahasa daerah, setidaknya ada usaha melestarikan lah.
Saya jadi ingat teman saya, Zaidan dan istrinya Viky. Mereka berbicara bahasa Sunda kepada anaknya. Dan yang hebatnya, Sunda halus. Saya saja sudah agak lupa bahasa Sunda halus. Padahal, waktu kecil, bicara Sunda halus di rumah, tapi gara-gara tinggal di Narogong, Kecamatan Cileungsi dan teman-teman main saya bicara Sunda kasar, saya malah ditertawakan teman-teman ketika bicara Sunda halus. Saya rasa, di Bandung pun, sudah jarang, orangtua seperti Zaidan dan Viky. Rasanya lebih banyak orangtua yang lebih peduli anaknya fasih berbahasa Inggris ketimbang bahasa daerah.
Di Jakarta, saya malah belum pernah mendengar anak kecil bicara bahasa daerah. Lebih banyak anak kecil was wes wos speaking English fluently.
Bagus sih, buat menyambut perdagangan bebas. Haha. Tapi ya, jadinya kalau semua anak kecil yang nantinya jadi orang besar dan menggantikan generasi tua sekarang sudah tak ada yang bisa berbahasa daerah, sayang sekali ya, kita harus kehilangan keragaman yang selalu diagung-agungkan itu. Padahal, menurut saya, itu jadi salah satu karakter yang membedakan kita dengan bangsa lain.
Saya jadi ingat waktu berkunjung ke Taipei. Di sana, pemandangan alamnya minim sekali, jauh lah sama yang kita punya di Indonesia. Akhirnya, salah satu daya tarik wisata mereka, adalah sejarah nenek moyangnya, alias sisi tradisional mereka. Di museum nya, ditampilkan, darimana nenek moyang mereka, seperti apa pakaian adatnya, dan bagaimana karakter tiap suku. Yah, kalau di kita mah, macam anjungan daerah di Taman Mini Indonesia Indah.
Artinya, sisi tradisional itu menarik dan potensial buat pariwisata. Kita ambil contoh Bali. Yang membuat saya, sebagai orang luar Bali, senang berkunjung ke sana, bukan cuma pantainya, tapi karena masih ada nuansa tradisional yang kuat.
Yah sebenarnya, saya bicara begini pun, masih agak munafik sih. Soalnya, waktu resepsi pernikahan, saya memilih memakai jas dan bertema nasional untuk pelaminan, karena malas memakai pakaian daerah. Hehe.
Saya jadi ingat para penyiar di radio daerah. Mendengar mereka, tak terasa sedang ada di daerah itu, karena dari gaya bahasa, hingga logat, terdengar seperti di Jakarta. Padahal, saya diajak siaran oleh radio di Jakarta, karena saya terasa nuansa Sunda nya, alias relatif berbeda dengan tipikal penyiar radio. Dan kemarin, saya diajak casting oleh stasiun TV yang mau membuat program pun, karena mereka mengharapkan nuansa Sunda saya yang muncul.
Lama-lama, kalau anak-anak kecil sekarang makin sedikit yang diajarkan atau menggunakan bahasa daerah, bisa punah ya. Saya pernah baca, banyak bahasa yang akhirnya punah. Mungkin nanti yang tersisa tinggal penggalan kata yang kemudian dijadikan referensi nama anak di generasi mendatang, macam bahasa Sansekerta.
Eh iya, ada kursus bahasa daerah nggak ya? Kalau kursus bahasa asing, kan banyak. Siapa tahu ini jadi peluang bisnis loh. Sekalian tujuan mulia, melestarikan bahasa daerah. Siapa tahu, nanti setelah adanya perdagangan bebas dan makin banyak orang asing yang menguasai lahan pekerjaan di sini, kemampuan berbahasa asing jadi tak istimewa lagi. Nanti yang dicari malah sumber daya manusia yang fasih berbahasa daerah.
Ayo, Juliana Jaya. Siapa tahu mau membuka variasi kursusnya. Bertahun-tahun kan sudah menghasilkan para penjahit andal sistem Jepang berijazah negara. Sekarang giliran membuka kursus bahasa daerah.
Juliana Jaya. Kursus Bahasa Sunda, dengan para pengajar akang teteh asli Pasundan.
Juliana Jaya. Kursus Bahasa Jawa, dengan para pengajar mas mbak yang logatnya masih medok.
Juliana Jaya. Kursus Bahasa Batak, lengkap dengan suasana lapo tuak.
Juliana Jaya. Kursus Bahasa Padang, yang dilengkapi masakan Padang.
Dan seterusnya. Silakan diisi sendiri, sesuai dengan harapan Anda.
20 Comments