Tentang Hari Terbaik Saya di 2014
Sebenarnya, ada banyak hal menyenangkan di 2014, tapi saya mau cerita satu hal paling menyenangkan.
Di akhir 2013, saya pernah menulis twit begini: Resolusi 2014: nonton konser The Rolling Stones. Alasan saya memasukkan itu sebagai resolusi yang masuk akal, karena di akhir tahun, saya dengar gosip soal The Rolling Stones bakal konser di Indonesia. Gosip dari teman yang bekerja di dunia promotor pertunjukkan. Lalu, ada berita soal The Rolling Stones yang akan menggelar tur dunia di 2014. Padahal, sebelumnya, berita soal tur itu selalu mereka bantah.
Saya bertekad. Kalaupun tak datang ke Jakarta, harus dikejar ke kota terdekat. Alhamdulillah sudah ada tabungan, jadi mimpi untuk menonton band pujaan sepertinya bisa diwujudkan. Mumpung semua personelnya masih sehat walafiat.
Yang muncul pertama di jadwal tur mereka, adalah Adelaide, Australia. Tapi hanya beberapa hari, tiket ludes. Dan ketika di Twitter muncul daftar paket nonton koser Stones di Melbourne dari akun @kartupos, harapan semakin cerah. Tapi sayang, tiket yang saya dambakan sudah ludes juga. Mereka hanya punya tiket yang lokasinya kurang oke.
Target berikutnya adalah Macau. Saya pikir, ini bisa jadi lokasi yang cocok nih. Lalu seorang teman bernama Andi Bachtiar Yusuf mengajak pergi ke konser itu juga. Dan Ucup, yang ternyata sering bolak balik Jakarta – Tokyo dalam rangka menonton sepakbola [dan membantu mengenalkan tim sepakbola di sana ke Indonesia], mendapat bantuan dari temannya dan menawarkan untuk menonton di Tokyo.
Tiket untuk konser tiga hari itu, cepat ludes. Kalau tak ada bantuan dari teman di Tokyo, mungkin kami tak bisa membeli tiketnya. Saya dan Ucup sebenarnya meminta untuk membeli tiket paling mahal, tapi entah si orang Jepang itu tak punya uang atau takut tak diganti uangnya atau memang kehabisan, kami mendapat tiket di kursi yang cukup jauh.
Tak apalah, saya pikir. Yang penting, bisa menonton The Rolling Stones.
Sebelumnya, sempat muncul jadwal Singapura, tapi beberapa menit setelat ditwit, jadwal itu hilang dari timeline akun The Rolling Stones. Saya tadinya mau membeli yang di Singapura dan tak berharap ke kota lain, karena tentu saja Singapura akan lebih murah biayanya. Tapi karena tak kunjung jelas, akhirnya Tokyo jadi tujuan.
Eh ternyata, menjelang kepergian ke Tokyo, jadwal Singapura muncul. Hati berdebar kencang. Bahagia. Bisa menonton dua kali, dan kebetulan tempatnya lebih kecil. Berarti bisa menonton lebih dekat.
Di hari tiket dijual, saya bergegas ke Senayan City, karena katanya tiket bisa dibeli di Sistic yang ada di sana. Tapi dalam perjalanan, ketika saya konfirmasi ulang, mereka bilang, tiket hanya dijual lewat online. Kampret. Saya terlewat. Dan benar saja, ketika membuka situs Sistic, tiket paling depan sudah habis. Bahkan saya juga tak bisa membeli tiket di kelas kedua untuk dua tiket. Dan sialnya lagi, saya lupa, bahwa ada perbedaan waktu satu jam antara Singapura dan Jakarta. Jadi, saya ketinggalan waktu satu jam. Dan gagal lah, saya pikir, nonton Stones dari jarak dekat.
Oke, langsung cerita soal konser di Tokyo ya. 6 Maret 2014 di Tokyo Dome, saya nonton Stones bersama Ucup dan Titi, teman Ucup yang baru saya kenal. Saya mengajak Tetta sekalian jalan-jalan ke Jepang. Bisa nonton Stones dan mengajak istri jalan-jalan ke Jepang di waktu bersamaan. Dua kebahagiaan duniawi.
Tokyo Dome adalah stadion baseball. Tempatnya besar. Saya duduk di barisan atas. Hanya bisa melihat panggung dari kejauhan. Kecil sekali terlihatnya. Tapi tetap saja hati berdebar. Mimpi jadi kenyataan. Penantian belasan tahun akhirnya terbalas juga.
Tokyo sedang dingin. Cuaca 4 derajat celcius malam itu. Tapi di dalam, saya merasa hangat. Karena banyak orang, dan karena hangat bahagia. Hahaha. Konser dimulai jam tujuh malam waktu Tokyo, tapi sejak jam 1 siang, antrian di booth merchandise sudah panjang sekali. Saya yang tadinya berjanji membelikan kaos untuk Tria Changcut dan berjanji ditukar dengan kaos konser Adelaide di mana dia akan pergi, begitu sampai di booth merchandise, uang ludes. Satu kaos kira-kira seharga 500 ribu rupiah. Beli dua kaos dan satu tas, uang habis. Mau mengambil lagi di ATM, tapi malas balik lagi ke antrian. Maafkan aku Tria Changcut.
Begitu konser dimulai, sebenarnya saya agak kecewa mendengar tata suara. Saya bingung, apakah memang karena The Stones sudah tua sehingga mereka bermain tak bagus lagi ataukah karena posisi duduk saya yang ada di atas dan penyebaran suara tak begitu bagus? Tapi, kekecewaan itu saya kubur dalam-dalam dan diganti dengan pikiran bahwa terlepas dari bagus jeleknya setidaknya saya akhirnya bisa menonton Rolling Stones.
15 Maret 2014, sembilan hari sejak konser di Tokyo Dome, saya pergi ke Singapura. Kali ini, Tetta juga saya belikan tiket. Nonton band pujaan bersama istri kesayangan, adalah kenikmatan duniawi. Menjelang hari H, ada kabar menggembirakan. Guvera, situs streaming musik menawarkan saya tiket Rolling Stones di Singapura dan mengganti biaya tiket pesawat serta menawarkan hotel asal saya mau melaporkan konser itu lewat twitter alias livetweet. Wah ini mah rejeki nomplok namanya.
Yang lebih menggembirakan lagi, tiket saya bisa diupgrade. Saya yang tadinya tak berjarak terlalu dekat, diberi tiket VIP alias paling depan! Jadinya, tiket saya yang tadinya di kelas nomer dua, bisa saya berikan untuk Tetta, dan tiket Tetta bisa saya jual sehingga saya bisa menghemat biaya.
Konser Stones di Singapura digelar di ballroom di Marina Bay Sands. Ini adalah gedung yang berada di dalam mall, dekat dengan kasino. Karena tiket terbatas, promotor memasang layar di luar arena untuk mereka yang tak bisa membeli tiket yang menurut ukuran orang Singapura pun cukup mahal. Tiket paling murah seharga Rp 2 juta dan paling mahal seharga Rp 7 juta. Promotor cukup baik dengan memasang tata suara yang juga bagus untuk para penonton di luar.
Saya bertemu salah seorang penggemar The Stones dari Jakarta yang belum punya tiket, dan berharap kalaupun dia tak kebagian, dia akan cukup puas menonton dari luar. Untung saja ada Guvera, sehingga tiket Tetta bisa saya jual ke orang itu yang memang terlihat sekali penggemar The Stones, dari semua atribut yang dikenakan.
Selain orang itu, saya juga bertemu orang Jakarta yang tinggal di Singapura dan mau membeli tiket. Tapi sepertinya dia rejekinya bagus, karena ketika sedang berbincang, tiba-tiba seorang bule memberi dia dua tiket. Katanya dia dapat itu dari kasino yang dia kunjungi. Bule itu tak meminta uang sepeserpun. Setelah dia serahkan tiket itu, si bule langsung pergi meninggalkan wajah orang Jakarta yang heran sekaligus bahagia.
Sebelum konser dimulai, ternyata Mick Jagger, Keith Richards, Ron Wood, dan Charlie Watts, menyapa para penonton di luar venue. Sebuah aksi yang mengejutkan.
Di dalam Ballroom, ternyata semua diminta duduk di kursi masing-masing. Tapi sejak awal, saya dan beberapa orang kulit putih, berdiri di depan barikade. Ada cekcok antara kami dan para penjaga soal larangan berdiri menempel ke barikade. Penjaga keamanan berbadan kecil, warga lokal, tak diindahkan himbauannya oleh bule-bule tua berbadan besar.
“This is a rock n’ roll show!” kata mereka soal alasan kami berdiri di depan panggung.
Saya sih bahagia, karena ada teman di depan dan yang penting, saya bisa berdiri menempel barikade! Hanya berjarak beberapa centimeter dari panggung yang tak terlalu tinggi. Ini sih lebih baik dari konser yang sering saya lihat di DVD. Dulu tak pernah terbayang bisa menonton langsung The Rolling Stones. Dan ketika mendapat tiket pun, tak terbayang bakal ada di baris paling depan!
Hati saya berdebar sangat kencang. Girang bukan kepalang.
Begitu Mick dan kawan – kawan muncul, beberapa petugas keamanan sempat meminta kami mundur dan duduk di kursi, tapi begitu musik menghentak, emosi semakin diacak-acak, omongan petugas makin tak dihiraukan.
Ya Alloh, saya dekat sekali dengan panggung. Rasanya pingin menangis. Keriputnya Mick Jagger dan kawan-kawan terlihat jelas. Di sebelah saya, Coki, gitaris Free on Saturday yang memang penggemar The Stones, khususnya Keith Richards terlihat menangis terharu. Air mata mengalir deras. Dia memegang mulutnya sambil menatap Keith. Saya bisa merasakan kebahagiaan yang dirasakan Coki.
Dan yang lebih membahagiakan, adalah ternyata The Rolling Stones masih bermain dengan bagus. Tata suara terdengar menyenangkan. Berarti yang kemarin di Tokyo Dome itu faktor venue, sehingga tenanglah hidup saya. Band pujaan saya masih bagus, meskipun di usia senja dan sudah bermain selama 50 tahun!
Hampir dua jam The Rolling Stones bermain. Tetta tak keberatan saya tinggal ke depan panggung. Untunglah, ada Wenz Rawk yang akhirnya bisa upgrade tiketnya [karena saya mendapat dua tiket dari Guvera] sehingga dia bisa satu kelas dengan Tetta. Ah, terima kasih Guvera!
Kebahagiaan tak berhenti sampai di situ. Di akhir konser, Keith Richards melempar pick gitarnya dan jatuh ke bawah panggung. Fotografer yang ada di depan, berbaik hati mau memberikannya pada saya. Untunglah dia bukan penggemar The Stones. Hahaha. Sebelumnya, dia juga memberikan saya pick bass Darryl Jones yang jatuh di depan panggung, dan hanya saya yang menyadari.
Setelah konser The Rolling Stones, secara musik, rasanya saya tak terlalu penasaran lagi. Tahun sebelumnya, sudah menonton The Stooges di Korea Selatan. Dua idola utama saya sudah berhasil saya tonton. Oh iya, Bob Dylan dan The Specials juga saya sudah nonton. Jadi, band-band yang berpengaruh untuk jiwa, sebagian besar sudah saya tonton. Maklum, yang lain, sebagian besar sudah meninggal: The Ramones [Marky Ramone sih pernah nonton waktu dia datang ke Jakarta tapi ya cuma dia personel Ramones nya], The Clash, The Doors, Bob Marley, dan Lou Reed. Yah memang sih masih ada Blondie, Sex Pistols [semoga mereka reuni lagi], dan Patti Smith.Tapi saya sih merasa sudah naik haji setelah menonton Stones dan The Stooges.
Yang lainnya sih, saya anggap umroh.
Nah, itulah dua hari di 2014 yang begitu menyenangkan buat saya. Uang banyak terkuras, tapi hati sangat puas.
Semoga 2015 membawa lebih banyak kebahagiaan.
0 Comments