by webmaster
Belum Lihat Kok Sudah Ribut
Sepertinya semua orang ingin ikut berkomentar. Politikus, ulama, selebritis, hingga media
Tapi, tidak banyak orang tahu seperti apa sebenarnya isi taman bermain itu. Di kepala banyak orang, di taman bermain saya mereka hanya bakal menemukan perempuan telanjang. Tapi, soal cerita menarik yang bermanfaat dan informatif tidak banyak orang tahu.
Sekarang, banyak orang menyatakan keberatan atas rencana datangnya taman bermain itu. Mereka menghujat. Mereka mengancam. Padahal, melihatnya saja belum. Penjelasan soal tampilannya yang tidak akan mengikuti tampilan dari negeri asalnya sudah diberi, tapi masih banyak yang tidak percaya.
Tidak diberi penjelasan, banyak orang marah. Diberi penjelasan pun, masih saja tidak percaya. Kalau begitu, diam dulu lah. Sampai taman bermain saya benar-benar selesai dibangun, baru berkomentar. Ternyata, untuk yang satu ini pun masih banyak yang tidak bisa.
Serba salah.
A Hungry Man is An Angry Man
Ini kelemahan saya. Tidak bisa berpikir dengan jernih kalau perut sedang kosong. Mungkin saya sama saja dengan binatang. Berbahaya kalau sedang lapar. Mungkin kamu juga seperti saya. Mungkin juga jutaan orang yang setiap hari kelaparan di luar sana. Kalau begitu, akhirnya bisa dimaklumi kenapa ada orang berbuat jahat dengan alasan mencari makan. Saya yang masih bisa membeli nasi saja, tidak bisa berpikir dengan jernih kalau lapar, apalagi mereka yang tidak punya uang untuk membeli nasi. Kamu pernah memikirkan itu?
Orangtua, Perempuan Setengah Telanjang dan Rencana Jangka Panjang
Orangtua, Perempuan Setengah Telanjang dan Rencana Jangka Panjang
Ini tentang saya dan pekerjaan saya.
Kamu mungkin pernah baca tulisan saya soal sekarang saya jadi feature editor di taman bermain yang baru. Ya. Secara karir saya meningkat. Dari reporter jadi feature editor. Finansial juga tentunya meningkat. Alhamdulillah. Tapi, tanggungjawab juga semakin berat. Itu konsekuensinya. Saya bahagia. Tentu saja.
Apalagi setelah mengetahui kalau orangtua saya merestui kepindahan saya ke majalah ini. “Bukannya itu majalah porno ya kalau di luar negeri mah?” tanya ayah saya. “Ya yang di sini mah, gambarnya nggak akan seperti di
Intinya, saya dapat restu mereka. Yang mereka khawatirkan justru bukan soal isi majalah–agak heran juga saya, padahal mereka cukup relijius. Jauh relijius dari saya–tapi soal kesejahteraan dan kepastian bekerja di
Orangtua saya dari dulu memang selalu mendukung keputusan saya. Alhamdulillah. Walaupun seringkali, mereka bertanya apakah saya tidak tertarik jadi pegawai BUMN, tapi mereka membiarkan saya memilih pekerjaan yang saya sukai.
Tapi, masih ada orangtua yang belum saya hadapi.
Orangtua pacar saya. Maklum, saya dan Tetta sudah punya rencana jangka panjang soal hubungan kami. Dengan kata lain, kami memandang serius hubungan ini. Tidak untuk main-main. Doakan kami ya. Hehe. Ah jadi melantur. Kembali ke topik pekerjaan. Singkatnya, orangtua Tetta belum tau kalau saya sekarang bekerja di taman bermain yang baru. Yang mereka tahu, saya wartawan. Itu saja. Dulu sih, waktu di Trax saya bilang, saya kerja di majalah musik.
Sampai sekarang, mereka belum bertanya lagi. Untungnya. Hehe.
Ini persoalannya. Ayahnya sedikit konservatif. Dari sekian banyak pandangan dia, gambar-gambar perempuan seksi di media, adalah salah satu yang tidak dia sukai. Satu waktu, dia melihat kalender keluaran Rip Curl, yang jadi bonus Trax. “Ini apa sih? Kok banyak gambar orang telanjangnya?” katanya mengomentari gambar perempuan dengan bikini sedang duduk di pinggir pantai.
Itu baru secuil. Kata pacar saya, beberapa waktu yang lalu juga dia pernah berkomentar soal gambar perempuan seksi. “Jadi kamu jangan bilang dulu sama papa ya,” kata pacar saya soal pekerjaan yang baru ini. Saya mengikuti sarannya. Dan saya memaklumi hal ini. Wajar saja, saya yakin bukan cuma orangtua pacar saya yang keberatan soal itu.
Ironis. Soalnya, saya sering menggoda teman saya, yang tidak ingin namanya muncul di taman bermain itu.
Dua orang kakak dan suaminya masing-masing sih, sudah tau. Hanya satu orang kakaknya–yang kata pacar saya cukup konservatif–dan para paman serta bibinya yang belum tau. Karena memang saya juga belum ingin mereka tau. Maklum, saya masih berusaha mendapatkan perhatian mereka. Kalau posisi saya sudah cukup aman, mungkin saya akan lebih berani.
Tapi sebelum itu terjadi, saya masih harus tetap menghindari obrolan soal pekerjaan. Dan berdoa semoga saja mereka bisa terbuka dan menerima saya apa adanya. Seperti juga pacar saya menerima saya apa adanya. Bukan begitu sayang? 🙂
Salam,
Tuhan dan Saya
Tentang Dua Ribu Lima
Jealous Guy
Kadang-kadang sih. Tidak selalu begitu. Biasanya, kalau mood saya lagi kurang asik. Kalau saya lagi capek. Kalau saya lagi lapar. Sifat itu muncul. Kondisi fisik dan psikologis yang kurang bagus itu, akan memunculkan sifat cemburuan saya, kalau distimuli oleh cerita pacar saya soal laki-laki lain.
Sepele sebenarnya. Misalnya ketika pacar saya cerita, ada pemain perkusi yang oke. Secara tampang dan permainan. Ada sahabat dia yang band-nya baru saja dikontrak oleh cafe. Soal dia yang salah kirim SMS. Atau, soal dia bertemu dengan temannya mantan dia. Atau, ketika pacar saya menyebut nama mantannya.
Padahal, buat saya, laki-laki cemburu itu, seperti kata John Lennon, adalah laki-laki yang merasa tidak aman. Khawatir akan kehilangan pasangannya. Oke, kadang memang, ada perasaan itu. Takut kehilangan. Maklum, saya pernah disakiti. Jadi sedikit trauma.
Tapi intinya, saya percaya kepada Tetta, pacar saya. Dia telah meyakinkan saya berkali-kali, kalau perasaan dia kepada saya tidak main-main. Dan saya juga, meyakinkan kepada diri saya, kalau saya tidak punya alasan untuk cemburu. Tapi, entah kenapa, sifat itu kadang muncul.
Mungkin bukan juga karena saya takut kehilangan. Tapi karena kadang, ketika saya dengar cerita pacar saya soal kekaguman dia pada bakat atau kelebihan laki-laki lain, yang ternyata bakatnya tidak saya miliki, saya jadi iri. Tanda tak mampu lah. Hehehe.
Ini yang sedang saya perangi sekarang. Menghilangkan sifat cemburuan, yang walaupun kecil, tapi bisa mengganggu saya juga. “Cemburuan mah bukan sifat laki-laki maskulin Leh,” kata Attan, sahabat saya, pakar maskulinitas.
Apa memang begitu?
Bagiku Agamaku Bagimu Agamamu
Begitu yang sering terlintas di kepala saya belakangan ini, kalo mengingat kata itu; Islam. Agama yang saya anut, karena orangtua saya juga menganutnya. Lantas, kenapa saya kasihan? Banyak hal. Tapi, ada beberapa fakta yang terlihat di depan mata saya yang kemudian membuat saya merasa kasihan.
Ini soal beberapa hal yang kemudian bisa dibilang mewakili Islam. Pertama, soal para peminta sumbangan. Coba lihat, hampir setiap hari kamu temukan itu. Yang mereka minta, biasanya untuk pembangunan mesjid atau untuk yayasan. Kalau yang di pinggir jalan sih, mungkin masih sedikit bisa dimaklumi. Karena bangunannya tampak. Lalu, bagaimana dengan yang ada di bis kota? Yang kadang-kadang, si peminta sumbangannya, adalah perempuan setengah baya, yang memakai jilbab. Bermodalkan kotak kayu yang di depannya dihiasi kertas dilaminating bergambar mesjid dan alamatnya. Tentu saja akan muncul pertanyaan soal jujur tidaknya perempuan tadi dan sekian banyak para peminta sumbangan yang lain di bis kota. Dan agama Islam dijadikan alasan.
Kedua, coba lihat tayangan soal para pemburu mahluk halus di televisi. “Orang-orang pintar” itu pasti memakai atribut Islam. Seperti layaknya para da’i. Dan mereka menggunakan bacaan-bacaan dalam bahasa Arab–entah itu dari al-Qur’an atau bukan, saya kurang paham–untuk menghadapi mahluk halus.
Ketiga, soal pemboman. Para tersangka pelaku pemboman erat sekali dengan agama Islam. Bukan cuma yang di Indonesia. Tapi juga di belahan bumi lain. Maka Islam=terorisme. Sedih sekali. Kenapa juga mereka harus mengatasnamakan agama untuk menghancurkan? Dengan dalih mereka yang dibom itu, adalah kaum kafir. Saya sedih.
Keempat, soal FPI. Kamu pasti tau, beberapa aksi mereka. Yang menghancurkan cafe-cafe, dengan alasan itu tempat penuh dengan dosa. Padahal, katanya FPI juga masih bisa dibeli dengan uang. Lagipula, menurut saya, dengan aksi menghancurkan cafe-cafe, tidak akan membuat orang insyaf. Mungkin ada yang bisa terpengaruh. Tapi, saya tidak melihat efektivitas dari kegiatan penghancuran itu. Malah, akan semakin memperburuk citra Islam. Menyebarkan ketakutan. Sekali lagi, saya sedih.
Walaupun memang, masih ada tokoh-tokoh Islam yang masih bisa menimbulkan simpatik, tetap saja beberapa fakta di atas, membuat saya sedih. Dan saya juga sedih. Karena banyak orang Islam, sudah melupakan ajaran-ajarannya. Juga banyak yang hanya namanya saja terdengar Islami. Tapi kelakuannya tidak. Tidak sedikit juga yang luntur. “Imanku yang dulu tegar, kini hancur dalam sesat kehidupan,” begitu kata Slank.
Saya salah satunya.
Saya Tamu yang Pemalu
Sampai sekarang, baru empat kali saya datang ke rumah pacar saya. Nah, jam terbang yang sedikit ini tentu saja berpengaruh pada tingkat kegugupan saya. Banyak hal terlintas di kepala. Tapi rasanya yang paling banyak, soal apakah mereka akan menerima saya juga. Seperti halnya pacar saya.
“Perjuangan” itu tidak berhenti sampai diterima jadi pacar, mempertahankan hubungan dan seterusnya. Tapi, juga mencoba diterima di keluarga pacar. Ini suatu perjuangan yang tidak mudah. Oke, mendapatkan hati satu orang saja, sepertinya berat, apalagi mendapatkan hati satu keluarga.
Pacar saya, adalah keluarga besar. Empat kakak beradik. Dia bungsu. Kakak-kakaknya sudah berkeluarga. Kakak pertama, beranak dua. Kakak kedua juga. Kakak ketiga, sayangnya keguguran, jadi belum punya anak.
Pada kunjungan pertama–waktu itu belum jadi pacar–saya bertemu hampir semua keluarga besar mereka. Kakaknya yang pertama dan suami serta anak-anaknya, Kakaknya yang ketiga, serta–ini dia nih–Ibu bapaknya. Bisa dibayangkan betapa gugupnya saya. Gila. Kunjungan pertama, sudah bertemu dengan keluarga besarnya.
Bayangkan. Saya ada di ruang keluarga. Di depan TV. Duduk di sebelah [waktu itu calon] pacar saya. Sementara itu, anggota keluarganya di sekeliling saya. Biasalah keluarga. Ngobrol. Alhamdulillah, saya bisa melewatinya dengan baik. Setidaknya menurut saya.
Kunjungan ke-dua, agak menegangkan. Karena saya pulang sekitar pukul sebelas malam. Dan bapaknya, waktu itu sudah mengkhawatirkan pacar saya. Karena dari pagi, dia belum bertemu. Tapi saya terbebas juga.
Kunjungan ke-tiga, di bulan puasa. Saya buka puasa bersama mereka. Menyantap makanan di meja makan mereka. Ini juga membuat saya grogi. Takut cara makan saya berantakan atau tidak pantas. Hehehe. Tapi saya bisa melewatinya juga.
Kunjungan ke-empat, kemarin. Saya sudah lumayan kurang grogi. Seperti biasa, rumahnya selalu penuh. Tapi, saya agak tenang. Karena sambutan mereka selalu hangat. Dan ketika duduk di ruang keluarga. Di depan TV. Saya tidak segugup ketika pertama kali.
Walau begitu, saya masih menganggap bapak pacar saya, jaga wibawa. Karena anggota keluarga yang lain, yang perempuan sikapnya jauh lebih hangat dibandingkan sang bapak. Tapi, saya bisa mengerti kok. Dia kepala keluarga. Dia adalah laki-laki di rumah itu. Tentu saja, dia harus menunjukkan siapa yang berkuasa. Setidaknya itu pikir saya.
Untung, sang bapak tidak terlalu dingin. Tidak hanya, menjawab “hmmm” ketika ditanya. Sudah lumayan berbasa-basi. Tapi “perjuangan” belum selesai. Masih jauh dari selesai. Dan saya yakin, masih banyak di luar sana, yang juga berjuang. Mencoba mendapatkan hati satu keluarga.
Untuk mereka, saya ucapkan semoga sukses.