Dua tahun lalu, tepatnya pukul setengah empat sore, di RS Puri Cinere, kamu lahir.

Sejak masih dalam kandungan, Bapak dan Ibu selalu bilang, kalau kamu lahir, tolong pas hari libur atau di akhir pekan, supaya lalu lintas menuju rumah sakit lancar, dan Bapak sedang ada di rumah. Ternyata, kamu memenuhi permintaan Bapak dan Ibu. Jam setengah enam pagi, Ibu merasa air ketuban bocor. Hari itu, Idul Adha, tadinya Ibu sedang bersiap-siap pergi ke mesjid untuk solat Ied. Bapak dan Ibu langsung pergi ke rumah sakit, ditemani Oma.

Sesampainya di rumah sakit, Ibu diperiksa suster yang kemudian bilang, kamu masih lama keluarnya. Itu mah bukan air ketuban. Tapi, ketika Dokter Aswin datang dan memeriksa Ibu, ternyata itu memang air ketuban. Yah namanya juga suster, kan mereka bukan ahlinya, tak apa lah kalau salah, tapi ya kasihan Ibu, susternya agak judes dan terlalu kasar memeriksanya.

Pukul sembilan pagi, Ibu diberi kapsul supaya segera melancarkan persalinan. Induksi, istilah kedokterannya. Setelah diinduksi, Bapak diminta mencatat berapa kali Ibu kontraksi. Dokter Aswin pergi dulu, mau membantu persalinan di rumah sakit yang lain.

Pukul tiga sore, Ibu dibawa ke ruang bersalin. Dokter Aswin dibantu beberapa orang suster di dalam ruangan. Bapak memegang tangan Ibu di sebelah kanan ibu, sambil memegang kamera. Demi dokumentasi. Maklum, Bapak kan bekas wartawan. Oma di sebelah kiri ibu.

Ada gunanya juga senam hamil yang beberapa kali Ibu ikuti, karena ketika disuruh mengeden dan ambil posisi melahirkan, Ibu sudah terlatih. Banyak yang bilang, ketika melahirkan, bapak-bapak “disiksa” oleh istrinya, baik itu diremas, dipegang dengan erat tangannya, yah disakiti lah. Tapi itu tak terjadi pada Bapak, karena tangan Bapak memegang kamera, sepertinya Ibu tak ingin menganggu lancarnya pengambilan gambar.

Pertama kali kamu keluar dari perut, yang terlihat adalah rambut kamu yang lebat. Bapak malah teringat alien yang ada di film, karena kamu berlumuran darah dan rambut hitam lebat. Hehe. Maaf ya. Dokter kandungan ternyata hanya menyemangati, terus membersihkan rambut kamu pas kamu perlahan-lahan keluar dari perut Ibu, terus menyambut kamu pas keluar seutuhnya. Enak ya jadi dokter kandungan. Sepertinya biaya paling mahal adalah untuk keterampilan menjahit alat kelamin perempuan yang koyak setelah melahirkan. Keterampilan itu tak mungkin dipelajari di kursus jahit Juliana Jaya.

Setelah dibersihkan, Bapak memotong pusar lalu membacakan adzan dan iqomah. Kamu terima saja ya menjadi Islam, kan bapak dan ibu kamu Islam. Hehe. Semoga setelah besar dan mengerti baik buruk, kamu bisa menerima ajaran Islam dan menjalankannya sambil tetap menghargai mereka yang berbeda pandangan dengan kamu soal agama.

Ibu menjalankan proses Insiasi Menyusui Dini alias IMD, dibantu Tante Nia Umar yang juga teman kuliah Bapak. Secara naluri, bayi yang baru lahir, akan mencari puting ibunya, lalu menyusui. Nah, IMD ini adalah menaruh bayi yang baru lahir di perut Ibu, terus membiarkan dia merangkak hingga mendapatkan puting ibu, dan menyusui untuk pertama kalinya. Kamu sudah dua tahun mendapatkan Air Susu Ibu. Kalau kamu punya anak, pastikan anak kamu mendapat ASI ya. Selain banyak manfaatnya karena menyehatkan, ASI juga hemat biaya, dan tak merepotkan orangtua. Kalau jalan-jalan, tak perlu bawa tas bayi yang berisi susu formula dan termos berisi air panas. Formula mah di balapan, bukan buat bayi. Hehe. Bapak sih tak tergabung di komunitas Ayah ASI, tapi bapak pro ASI.

Ini foto karya Ibu. Kalau kamu bertanya-tanya kenapa warnanya begitu, itu karena filter Path yang akan membuat foto biasa saja, jadi terlihat luar biasa [tapi ini mah bukan foto biasa saja, karena bagus, ada tulisan nama kamu di belakangnya, dan pose kamu sedang menjulurkan lidah]. Kalau pada saat kamu baca, sudah tak ada yang namanya Path, silakan Google saja. Kayaknya sih kalau Google bakal masih ada. Bapak sih tak main Path, sudah dua tahun bapak uninstall dari hp, karena menurut bapak, Path adalah kombinasi antara Instagram dan Twitter. Buat apa mengulang yang sudah Bapak punya?

iggy

Kini, dua tahun kemudian, Bapak menulis ini buat kamu. Siapa tahu, internet masih canggih dan belasan tahun kemudian, kamu masih bisa membaca tulisan ini. Kalaupun tidak, yah setidaknya pembaca blog ini jadi tahu sedikit tentang kamu.

Bapak mengambil nama Iggy, dari salah satu musisi idola bapak: Iggy Pop. Dari sekian banyak nama rockstar bule, yang namanya mudah diucapkan oleh lidah lokal, tak peduli lidahnya apa, Iggy adalah nama yang paling pas. Diucapkan anak kecil, mudah. Oleh orang Sunda mudah, karena tak ada unsur F. Dan tak terlalu kebarat-baratan. Hanya mereka yang tahu Iggy Pop, akan menebak bahwa itu nama Barat. Kalau anak sekarang, paling menghubungkannya dengan Iggy Azalea.

Kastara adalah nama pemberian Ibu. Diambil dari bahasa Sansekerta [sudah punah bahasanya, sekarang akhirnya dipakai kata-kata yang masih bisa dicatat sejarah dan dipakai jadi nama manusia masa kini], artinya: yang termasyhur. Pas lah, nama itu. Ada nuansa Sundanya, dan artinya kurang lebih jadi Pop juga. Satu lagi, nama itu mirip dengan nama yang Bapak pakai di buku: Kastana.

Bapak tak mau memberi nama yang lebih dari dua. Toh, banyak juga yang punya nama panjang, pada akhirnya namanya disingkat hanya jadi dua. Lagipula, kalau namanya pendek, ketika bertransaksi di ATM, nama kamu bakal tertulis lengkap. Satu lagi yang tak kalah penting: nama dengan huruf I, kalau dipanggil di sekolah, tak akan ada di urutan satu. Bapak tak tahu bagaimana nanti di sekolah kamu, yang jelas, di sekolah Bapak, kalau pelajaran olahraga atau pelajaran lain yang berhubungan dengan memanggil murid untuk melakukan sesuatu, biasanya diambil dari daftar absen. Antara anak dengan huruf A atau huruf Z yang biasanya ada di urutan pertama melakukan yang diperintahkan guru di pelajaran itu.

Tak ada makna filosofis di balik nama kamu. Kasihan kamu kalau namanya terlalu terbebani oleh doa orangtua. Pertimbangan Bapak mah cuma satu: namanya keren menurut Bapak dan Ibu. Hehe. Kalau soal doa dan harapan mah, yah Bapak selalu berharap kamu jadi orang yang baik, sehat, bahagia, berguna buat orang lain, bisa punya keluarga yang bahagia juga, dan tak menyakiti orang lain.

Ulang tahun kedua, Bapak dan Ibu tak membuat pesta seperti ulang tahun pertama kamu. Tapi Ibu semangat sekali, membuat pernak pernik hiasan demi kepentingan dokumentasi alias demi bagus buat media sosial. Terima kasih juga untuk Tante Lia yang membantu membuatkan desain lucu-lucu bertema safari. Dia ingin merintis usaha penyelenggara pesta ulang tahun anak kecil, dan meminta Ibu memfoto hasil desainnya, dengan harapan banyak yang mau memakai jasanya.

Tapi kemarin, Bapak, Ibu, Oma, Amih, Apa, Aa, Teteh, dan Bibi, mengajak Iggy ke Taman Safari, Cisarua. Meskipun harus macet di jalan, dan menempuh empat jam perjalanan ke sana, semua senang. Bapak terakhir ke sana tahun ’96, waktu ikut acara pelantikan Merpati Putih. Dini hari Bapak direndam di kolam yang airnya dingin sekali. Maklum lah, Bapak dulu pernah bercita-cita jadi pendekar karena kebanyakan nonton film Kung Fu.

Ini buktinya kita ke Taman Safari. Siapa tahu, nanti kamu bilang no pic = hoax. Yah tak kelihatan sih binatangnya, tapi ini di jalan menuju parkiran setelah menonton Cowboy Show di mana kamu menangis karena mengantuk.

jalan

 

Nih, foto kamu sedang mengaum. Sebelumnya, ketika semua bernyanyi di depan kue ulang tahun, kamu malah menangis. Mungkin kamu lapar, Bapak juga kalau lagi lapar suka uring-uringan.

aum

Sudah dulu ya tulisannya. Gerah nih, Bapak mau mandi. Tapi mau makan jeruk Sunkist dulu. Itu loh, kamu juga suka ikut bapak kalau bapak sedang makan jeruk. Oya, mau cerita sedikit soal jeruk Sunkist, lebih tepatnya sih jeruk Navele [maaf kalau salah mengeja]. Dulu, sebelum tahu ada jeruk Sunkist [jeruk yang makannya tak dikupas kullitnya lalu dimakan satu-satu, tapi jeruk dipotong oleh pisau dan dibagi menjadi delapan potong kecil], Bapak pernah berdoa, semoga saja suatu hari ada jeruk yang tanpa biji. Soalnya Bapak kalau makan jeruk lokal, selalu malas membuang bijinya. Merepotkan dan meninggalkan banyak sampah. Pernah Bapak bercita-cita ingin masuk surga, karena bapak pikir, kalau di surga, pasti jeruknya tak ada bijinya, jadi bisa langsung dilahap tanpa harus repot membuang bijinya. Bapak agak jijik dengan biji. Tapi tak jijik dengan biji punya Bapak. Hehe.

Tuh kan, katanya tadi mau menyudahi tulisan. Tapi tak kelar-kelar juga. Kebiasaan nih. Kalau sedang stand up pun, Bapak sering tak tahu bagaimana mengakhiri penampilan supaya klimaks dan membuat penonton bersorak di akhir lawakan, sebelum Bapak pamit.

Ah sekarang mah, beneran nih. Soalnya kamu sudah naik kursi tempat bapak mengetik, dan kamu mulai menangis karena ingin ikut main komputer juga.

Selamat ulang tahun, Iggy Kastara!