Hari ini, tiga tahun lalu, saya dan Tetta Riyani Valentia menikah.
Kami berpacaran selama enam tahun sebelum akhirnya jadi suami istri. Ada banyak hal yang membuat kami baru menikah setelah enam tahun pacaran. Pertama, sejak pertama kali pacaran, saya bertekad, kalau menikah, minimal gaji saya sudah lima juta per bulan. Keinginan ini muncul ketika gaji saya masih di bawah dua juta per bulan. Jadi, membayangkan gaji lima juta per bulan, rasanya besar sekali. Hehe. Kedua, bapaknya Tetta menginginkan salah satu dari kami jadi pegawai negeri, karena dia swasta dan tahu benar bahwa karyawan swasta tak punya kepastian pensiun seperti halnya pegawai negeri. Yah karena saya tak mau jadi pegawai negeri, akhirnya Tetta yang beberapa kali mencoba daftar sebagai pegawai negeri, hingga akhirnya tembus. Ketiga, saya ingin ketika saya menikah, tak meminta uang kepada orangtua saya. Keempat, saya ingin sebelum saya menikah, sudah punya rumah. Tak masalah ukurannya berapa, atau berapa tahun mencicilnya, yang penting punya rumah.
Dan itu semua alhamdulillah sudah tercapai pada 3 Desember 2011.
Gusti Alloh Maha Adil. Hehe.
Kalau bicara pernikahan, tentu bicara lamaran. Tak ada proses lamaran yang romantis bagai adegan film, macam bersimpuh dengan kalimat “Maukah Kau menikah denganku?” atau adegan ketika sedang makan malam romantis tiba-tiba di kue atau di gelas, ada cincin. Yah itulah salah satu kekurangan saya, tak romantis. Seperti lirik lagu Iwan Fals: Aku tak mampu beri sayang yang cantik, seperti kisah cinta di dalam komik. Hehe. Pembenaran.
Tapi saya masih ingat, betapa menegangkannya bicara soal rencana menikahi Tetta kepada bapaknya. Level menegangkannya jauh lebih seram dibandingkan ketika waktu mau menyatakan cinta alias meminta jadi pacar.
Satu malam yang dingin dan sepi… Eh itu mah lirik lagu Sandhy Sondoro ya. Satu malam, dalam salah satu malam kunjungan saya ke rumah Tetta, sebelum pulang, saya memberanikan diri bicara kepada bapaknya Tetta.
“Pah, mau ngomong sebentar,” kata saya.
Bapaknya Tetta sepertinya tahu tipe pembicaraan apa yang akan kami lakukan. Kami sedang dekat meja makan saat itu. Dia mengajak duduk di meja makan. Dia duduk dengan seksama, menatap mata saya hingga membuat jantung berdebar kencang.
Saya tak memakai basa-basi atau intro bertele-tele. Sebelumnya pernah dengar cerita teman saya yang mau meminta ijin menikah kepada bapak pacarnya, dia bercerita panjang lebar ngalor ngidul memakai bahasa Indonesia yang kaku baik dan benar, pokoknya akan membuat JS Badudu bangga lah.
Sedangkan saya, antara saking groginya atau tak pintar berbasa-basi, begitu duduk, saya langsung berkata, “Pah, saya mau nikah sama Tetta. Kalau diijinin, nanti saya ajak keluarga saya ke sini buat ngelamar.”
Begitu kalimat itu keluar, leganya bukan main. Kalau ada yang bilang bicara di depan orang banyak itu menegangkan, saya rasa tak ada apa-apanya dibandingkan bicara kepada calon mertua dalam rangka meminta ijin menikah.
Langsung ke cerita soal resepsi pernikahannya saja ya.
Saya memilih memakai jas, karena meskipun saya cinta Indonesia, saya tak ingin terlihat memakai pakaian adat, karena menurut saya kalau saya memakai pakaian adat, terlihat kocak. Saya tak ingin terlihat kocak di pelaminan, biarlah kocak kalau sedang ada job saja. Satu lagi, karena bapak saya ketika menikah juga memakai jas, jadi ketika saya kecil saya pernah berniat kalau menikah, ingin memakai jas juga. Kasihan teman saya, yang datang memakai jas berwarna serupa, jadi harus melepas jasnya ketika ke pelaminan karena demi menghargai pengantin atau karena tengsin warnanya sama. Haha.
Kami menikah di Gedung Departemen Pertanian, Ragunan, Jakarta Selatan. Lokasinya strategis, tempat parkir luas, dan yang penting: harga ekonomis tapi tampilan tak terlalu bikin hati meringis.
Tanpa dinyana, saya mendapat sumbangan yang berharga dari teman-teman: Ada Speaker First yang mau tampil membawakan lagu Let It Bleed dari The Rolling Stones selain lagu mereka sendiri, dan ada Pure Saturday yang bahkan khusus menyanyikan “Here Comes Your Man” dari Pixies untuk pernikahan kami. Home band kami hari itu: LCD Trip yang sekarang mulai dikenal di skena musik independen Jakarta, bahkan berbaik hati, hanya dalam beberapa kali latihan, mau menyanyikan lagu-lagu pilihan saya dalam format akustik. Dengan begitu, semua lagu yang diputar di hari pernikahan saya, tak ada selera mertua atau orangtua, tapi selera kami berdua. Setidaknya, kalau saya mengingat hari pernikahan saya, adegan ditutup dengan pertunjukkan musik di mana di depan panggungnya berisi teman-teman dekat. Tak ada organ tunggal, dan tak ada bapak-bapak atau ibu-ibu yang merasa suara bagus padahal tidak, mendominasi organ tunggal.
Sebelumnya, ada keluarga bapak mertua yang punya usaha organ tunggal dan menawarkan jasa menghibur. Tapi dengan dalih sudah ada sumbangan dari teman-teman, akhirnya kami bisa menolak dengan halus dan mulus.
Buat yang belum menikah, dan ingin tahu seperti apa rasanya berdiri di pelaminan dan menyalami banyak orang: melelahkan. Terutama di otot mulut, karena harus tersenyum selalu.
Lalu, seperti apa rasanya menikah selama tiga tahun?
Konfilk mah pasti ada, namanya juga hidup. Tak mungkin tak ada masalah. Tapi selama suami dan istri punya niat untuk menjalankan hubungan dengan baik, saya rasa konflik bisa diatasi. Ah, saya jadi sok bijak begini. Tak usah bicara masalah lah, bicara yang enak-enak saja. Kami dikaruniai anak lelaki yang alhamdulillah sehat berkat rejeki dari Alloh dan berkat ASI. Hehe.
Kalau melihat Tetta sekarang, saya hampir tak percaya, pertama kali bertemu dengannya ketika dia masih umur 20 tahun. Dulu dia masih mahasiswi, sekarang sudah jadi istri. Pintar memasak, padahal hanya bermodal menu hasil Googling. Dan yang paling penting: dia adalah ibu yang baik, dan mau sabar menerima saya dengan segala macam perilaku saya yang menyebalkan. Hehe.
Ada dua karunia terbesar sepanjang tiga tahun terakhir ini: Tetta dan Iggy. *kemudian bernyanyi soundtrack sinetron “Keluarga Cemara”: Harta yang paling berhargaaa…. adalah keluarga.
Yah demikianlah, sodara-sodara, curhat saya. Semoga ada manfaatnya.
Untuk mengarungi bahtera rumah tangga [gawat ya, kalimatnya], saya selalu teringat lagu Iwan Fals yang berjudul CIK.
…
Riak gelombang satu rintangan
Ingat itu pasti kan datang
Karang tajam sepintas seram
Usah gentar bersatu terjang
Ulurkan tanganmu pasti kugenggam jarimu
Kecup mesra hatiku
Rintangan kuyakin pasti berlalu
—
Selamat ulang tahun pernikahan, istriku. Aku sayang kamu.