Seberapa dekat Anda dengan bapak atau ayah atau papah Anda? Saya sih memanggilnya dengan ‘Apa’, tipikal orang Sunda lah. Tapi, demi kepentingan tulisan, saya sebut saja bapak.

Kalau definisi dekat adalah bisa bercerita tentang apa saja, maka saya sih termasuk yang biasa saja. Saya bertanya-tanya soal kedekatan dengan bapak, setelah saya punya anak. Saya berusaha dekat dengan Iggy. Saya ingin anak saya, ketika besar, bisa punya hubungan yang dekat dengan saya, tak seperti hubungan saya dengan bapak saya. Perasaan kalau melihat film Hollywood, sering ada adegan sang anak curhat soal pacar kepada bapaknya. Nah, adegan begitu, belum pernah saya alami dalam hidup. Entah kenapa, saya merasa malu, atau geli, bercerita soal itu.

Ada masanya saya sebal sama bapak saya. Tepatnya, ketika masih kuliah. Dia sering bertanya kapan saya lulus. Dalam berbagai mode, mulai dari mode baik-baik dengan nada bicara mengayomi, mode menyindir, hingga mode amarah dengan nada bicara yang tinggi. Akhirnya saya lulus, setelah tujuh tahun kuliah. Itu bukan karena malas, tapi karena sudah niat sejak pertama masuk kuliah. Ingin merasakan dunia kampus sampai bosan sehingga tak perlu kangen lagi dan tak perlu balik lagi ke kampus dan ada nuansa post power syndrome. Hahaha. Alasannya hebat ya?

Saya sering sebal juga, sama bapak saya yang banyak omong. Waktu masih bujangan dan saya bolak balik Jakarta – Bandung dua kali seminggu, setiap datang dari Jakarta dan berangkat ke Jakarta dari Terminal Leuwi Panjang, bapak saya selalu menjemput saya. Selama di perjalanan, sambil menyetir, dia tak berhenti berbicara. Tanpa jeda. Saya sering capek mendengarnya.

Tapi setelah punya anak, saya jadi sadar, bahwa sebenarnya bapak saya, menyayangi saya, meskipun tak pernah ada kalimat begitu. Jangan juga sih, saya jadi geli nanti. Saya menyayangi anak saya. Ketika memeluk Iggy, menemaninya hingga dia tertidur, memeluk, memangku, membacakan buku, bermain bersama, saya jadi teringat bapak saya. Mungkin ini yang dia rasakan juga ya.

Ada empat momen masa kecil bersama bapak, yang masih membekas di benak saya. Pertama: momen solat jumat bareng, di Mesji Al Banna, Desa Narogong, Kecamatan Cileungsi, Kabupaten Bogor. Saya tak tahu umur berapa, yang jelas, sebelum masuk SD. Kedua, momen dijemput dari TK PT Semen Cibinong. Karena dekat dengan kantor bapak saya di PT Telkom [waktu itu masih Perumtel, tepatnya di SKSD Palapa], bapak saya selalu menjemput saya dari TK. Masih terbayang, saya berdiri di atas Vespa, angin menerpa saya, dan tangan saya berpegangan pada itu loh saya tak tahu apa namanya, yang ada di speedometer Vespa. Ketiga, momen ketika bapak saya bercerita alias berdongeng di kamar tidur, sebelum saya tidur. Dongengnya tentang asal usul air laut menjadi asin. Keempat, momen ketika bapak saya menyuruh saya ikut lomba pidato ketika kelas 6 SD, dia menuliskan naskah ceramahnya [tentang Isra’ Mi’raj], sehingga saya jadi juara lomba pidato dalam rangka peringatan Isra’ Mi’ raj.

Dulu, saya tak pernah menganggap pengalaman-pengalaman itu berharga. Istilah bahasa Inggrisnya, taken for granted. Baru belakangan ini, saya sadar, bahwa ternyata hubungan saya dan bapak saya cukup dekat. Yah setidaknya ketika kecil.

Ketika saya bersama Iggy, saya merasa jadi bapak saya, dan Iggy menjadi saya. Jadi teringat dialog di film “Man Of Steel”: The father becomes the son, the son becomes the father. Kurang lebih begitu kan dialognya, kalau salah, maafkan ya. Saya sedang malas Googling untuk konfirmasi dialognya. Hehe.

Saya baru sadar, betapa bapak saya, punya pengaruh yang besar terhadap hidup saya. Kalau saja dia tak menyuruh saya ikut lomba pidato, mungkin saya tak sadar punya kemampuan public speaking. Entah apa motivasi bapak saya waktu itu. Apakah karena dia melihat saya punya potensi itu, atau memang dia ingin saya jadi ustadz? Haha.

Yah buat Anda yang mungkin juga sekarang sebal sama bapaknya, sabar aja. Orang tua memang kadang menyebalkan, tapi kalau sudah punya anak, barulah kita sadar, bahwa mereka memang ada tujuan baik juga. Tapi syukurlah, bapak dan ibu saya, tak pernah memaksakan saya jadi yang mereka inginkan, meskipun sempat menyuruh saya jadi PNS, tapi mereka ikhlas saja ketika saya menolak ide itu. Hehe.

Buat yang belum pernah lihat bapak saya, ini fotonya. Namanya Kosasih. Waktu pertama kali main film, di “Cinta Brontosaurus” dan sutradara Fajar Nugros menanyakan nama Sunda buat karakter saya, langsung teringat bapak. Haha. Yah saya pikir, kalau saya main film pertama kali, orang biasanya bakal mengingat namanya. Sebagai penghargaan buat bapak, saya memakai nama Kosasih di film. Waktu ibu saya mengajak bapak nonton film itu di bioskop, ternyata dia tak mau, karena canggung melihat anak saya bermain film, dan memakai nama dia. Hahaha.

Ini dia sedang di atas Vespa. Standar foto jaman dulu, duduk di Vespa dengan wajah tak melihat kamera.

photo.PNG