Sabtu, 28 Maret 2015, adalah Sabtu paling kelabu sepanjang hidup saya, sejauh ini.

Kira-kira pukul empat sore, ada telepon dari ibu saya. Dari sekian banyak percakapan telepon yang kami lakukan, itu adalah percakapan paling singkat tapi paling menyakitkan.

“Leh, Apa maot,” kata ibu saya setengah berteriak.

Jantung saya berdebar kencang. Tak percaya apa yang saya dengar. Ibu mengabarkan bahwa bapak saya, meninggal. Dia biasa kami panggil Apa, panggilan standar khas orang Sunda untuk bapak.

Memang, yang namanya umur itu rahasia Tuhan. Tapi, kepergian bapak, benar-benar mendadak. Tak disertai sakit keras. Tak dalam perjalanan. Atau, tak sedang melakukan pekerjaan yang berbahaya. Dua minggu belakangan, kata ibu, Apa mengeluh tak enak badan. Batuknya tak kunjung sembuh. Dia kuatir ada masalah dengan kesehatannya.

Tiga hari sebelumnya, bapak memeriksakan kesehatannya. Jumat, dokter mengabarkan bahwa dia baik-baik saja. Tak ada masalah dengan kolesterol, jantung, tekanan darah, maupun kadar gula. Hanya memang, dia didiagnosa menderita bronkhitis. Kata ibu, dulu bapak pernah membersihkan rumah dan menghisap banyak debu sehingga mengotori paru-parunya. Dia diberi obat oleh dokter untuk bronkhitisnya itu.

Sabtu, bapak kembali membersihkan rumah. Dia memang begitu, selalu tak bisa berdiam diri. Sejak pensiun, tak pernah sekalipun bersantai. Tak enak badan, kalau tak bekerja, alasannya. Maka dia aktif menjadi Ketua DKM, pernah jadi Ketua RW, sambil punya usaha satu angkot Antapani – Ciroyom, juga mengurusi dua cucu dari adik saya, serta rutin mengantar jemput ibu saya untuk mengajar di sekolah. Di sela-sela aktivitas itu, dia pernah merenovasi sebagian ruangan di rumah. Membangun kamar sedikit demi sedikit sambil mengasuh cucu. Merenovasi kamar mandi, memasang keramik. Yah pokoknya segala macam pekerjaan yang tak bisa saya kerjakan. Bapak adalah pekerja kantoran, yang juga piawai mengerjakan tugas pekerja bangunan.

Sabtu itu, bapak membersihkan berangkal [ah, saya tak tahu ejaannya yang benar untuk menggambarkan bekas reruntuhan bangunan] di rumah. Dia baru saja membongkar bekas kolam yang tadinya digunakan untuk mandi bola anak-anak. Ibu saya membuka PAUD di rumah kami. Kamar bekas saya, dan garasi mobil dijadikan tempat anak-anak PAUD belajar. Kata ibu, karena tak ingin setiap hari mengeluar masukkan mobil, maka dia mau membongkar kolam itu, supaya mobil bisa parkir di sana, jadi ruangan kelas tak perlu setiap hari dibereskan.

Menjelang Ashar, bapak mengeluh kleyengan, dia merasa agak sempoyongan. Mungkin kleyengan seperti orang mau pingsan. Sebelum meninggal, dia bertemu sepupu saya di depan rumah, dan bilang kepalanya kleyengan. Dia sempat makan siang, lalu bekerja lagi. Ibu saya menemaninya sepanjang bapak membersihkan berangkal. Ibu memasukkannya ke ember, bapak lalu membuangnya ke jalan yang bolong tak jauh dari rumah.

“Duh, kleyengan begini ya,” kata bapak sambil cengengesan.

“Udah, istirahat atuh,” kata ibu.

Tentu saja percakapan aslinya dalam bahasa Sunda.

Ibu pamit mau solat Ashar, karena adzan sudah terdengar berkumandang. Baru berjalan dua langkah, dia mendengar suara orang terjatuh. Bapak sudah terlentang. Ibu panik. Dia berteriak memanggil sepupu saya yang tinggal di depan rumah. Ibu meneriakkan kalimat takbir, istighfar, dan syahadat. Dia membawa bapak ke kamar, dan berusaha membangunkan bapak. Dia sempat mendengar tarikan nafas terakhirnya. Tapi karena penasaran, ibu meminta sepupu saya membawa bapak ke dokter. Tapi tak ada yang bisa dilakukan dokter, karena bapak sudah tak bernafas. Pak Kosasih, Mang Engkos, Pak Haji, Pak Engkos, atau Apa buat saya dan keluarga, meninggal di usianya yang mau masuk 61 tahun, September ini.

Pulang dari klinik, ibu menelepon saya.

Pukul sembilan malam, saya tiba di Bandung. Ibu menunggu saya untuk ikut memandikan bapak. Wajahnya seperti sedang tertidur pulas dengan tenang. Itu pertama kalinya saya memandikan jenazah. Dan pertama kalinya saya memangku bapak. Masih tak percaya bapak sudah tidak ada.

Seminggu sebelumnya, dia baru saja berkunjung ke rumah saya di Krukut. Adek saya tadinya meminta bapak untuk jangan pergi hari itu, tapi bapak bersikeras ingin pergi. Mungkin sudah ada firasat. Setidaknya, bapak sudah bertemu dengan Iggy anak saya dan melihat bahwa cucunya yang dulu belum aktif berbicara kini sudah cerewet.

“Iggy udah pinter ngomongnya ya sekarang,” kata bapak.

Salah satu percakapan terakhir kami adalah seputar rumah di Bandung yang katanya sudah terbagi dua sertifikatnya. Jadi, kalau dia sudah tak ada, itu rumah tinggal dibagi dua saja tanahnya. Adek saya yang lelaki sudah diberi rumah di Gedebage. Saya waktu itu tak mengira bahwa dia bicara soal rumah, karena waktunya di dunia tak lama lagi.

Bersama ibu, lebih banyak lagi firasatnya. Ketika melihat berita meninggalnya Olga, bapak berkata,

“Gimana ya rasanya meninggal,” katanya.

“Kan kamu rajin mengaji, Insya Alloh diterangkan kuburnya,” kata ibu.

Lalu, di rumah sering terdengar burung clepuk [saya tak tahu nama betulnya, yang jelas, burung yang katanya suka terdengar kalau ada orang yang mau meninggal].

“Itu burung kok nggak pergi-pergi ya. Mau jemput siapa lagi sih?” kata bapak kepada ibu.

Saya masih suka sedih kalau terngiang lagi cerita ibu soal itu semua. Apalagi kalau teringat lagi suara ibu di telepon ketika mengabarkan kepergian bapak. Baru sekarang saya tahu rasanya berduka karena ditinggal orang tua. Meskipun kemarin-kemarin beberapa kali mengucapkan turut berduka cita ketika ada orang tuanya teman yang meninggal, baru kali ini saya tahu benar sakitnya berduka cita. Dan meskipun ada beberapa orang yang menganggap tahlilan itu bid’ah [perbuatan yang tak pernah dicontohkan oleh nabi], tapi saya baru merasakan manfaat positifnya. Rumah terasa sepi sekali, setelah ada yang meninggal. Nah, orang-orang berdatangan ke rumah, yang paling terasa sih, bahwa kehadiran mereka membuat psikologis yang ditinggalkan sedikit terobati. Setidaknya, kami tak terlalu merasa sedih.

Minggu pagi, bapak dimakamkan di pemakaman keluarga besar Antapani Lama. Makamnya tak jauh dari makam ibu bapaknya. Semoga dia bisa bertemu dengan orang tuanya di alam berikutnya. Saya dulu sempat sesumbar, kalau orang tua meninggal, jangan sampai menangis di depan umum. Tapi tak bisa. Dan saya baru tahu, sesungguhnya bicara di depan umum yang paling sulit adalah berpidato singkat di pemakaman bapak. Saya tak pernah merasakan sesulit itu mengeluarkan kata-kata. Bukan karena tak tahu apa yang harus diucapkan, tapi karena tak kuasa menahan rasa sedih.

Terima kasih Pa, atas segala yang telah Apa ajarkan dan berikan buat saya, mamah, Ade, dan Desi. Semoga saya juga bisa menjadi bapak yang baik buat keluarga saya, seperti yang sudah Apa lakukan buat kami. Menjaga dan mengurus mamah hingga akhir hayat Apa.

Saya jadi kangen masa kecil saya. Ingin jadi anak lagi, dan merasakan kembali kenangan indah bersama Apa.

Saya kangen perasaan betapa menyenangkannya pulang pergi ke TK dijemput Apa naik Vespa.

Saya kangen pergi solat Jumat bersama.

Saya masih ingat beberapa naskah khotbah yang Apa tulis buat saya di lomba khotbah waktu SD, sehingga membuat saya percaya diri bicara di depan umum.

Maafkan saya ketika remaja sering tak mendengarkan Apa.

Maafkan saya karena tak lulus kuliah cepat seperti keinginan Apa.

Maafkan saya karena menjelang kepergian Apa, lama tak berkunjung ke Bandung.

Semoga Alloh menerima amal baik Apa, menerangkan dan meluaskan kuburan Apa, mengampuni dosa Apa, dan semoga Apa bisa beristirahat dengan tenang di alam sana.

Selamat jalan, Pa. :'(

Kosasih muda, di Antapani.

Kosasih muda, di Antapani.