Yang seringkali, tak seberani itu di dunia nyata.

Berkembangnya media sosial, khususnya Twitter dan Facebook, memunculkan banyak orang yang berani mengeluarkan pendapatnya. Tak jadi soal apakah pendapatnya itu didukung fakta, atau pendapat asal jeplak asal ekspresi terluapkan.

Saya bukan mau menulis soal etika menyampaikan pendapat di internet. Hehe. Buat saya sih, sebenarnya terserah saja lah, orang mau menulis apa di internet–selama tak menyebarkan berita bohong alias fitnah. Kalau mau bicara kasar atau tak sopan mah, ya itu pilihan ekspresi.

Yang mau saya bicarakan, adalah seringkali, mereka yang berani berkata-kata di Twitter, kenyataannya tak seberani itu.

Kawan saya, Arian13 pernah punya pengalaman. Satu waktu, ada satu orang yang sering mencercanya di internet. Mencaci semua yang dikerjakan Arian. Singkat cerita, karena merasa penasaran, Arian berhasil mencari tahu siapa orang itu, dan mendapat nomor teleponnya. Ketika Arian menelepon orang itu–masih dengan nada baik-baik–si orang itu, malah tak menunjukkan keberingasan seperti yang dia tunjukkan di internet.

Saya juga pernah punya pengalaman serupa, beberapa tahun lalu. Ada satu orang–penulis dan vokalis band–yang tiba-tiba menjelek-jelekkan saya di Twitter setelah saya menulis satu twit soal musik. Dia menulis bahwa saya jurnalis musik yang buruk karena menulis twit soal musik Melayu. Padahal saya tahu, musik Melayu itu bukan musik pop yang sering muncul di TV. Makanya, saya twit dengan kalimat musik pop dengan cengkok vokal Melayu. Saya tahu soal ini, karena ada teman-teman saya yang follow saya juga follow dia. Si orang itu, bahkan mengungkit tulisan saya di jaman Multiply, yang salah menulis soal istilah film musikal. Sejak di jaman Multiply juga saya tahu istilah itu salah, karena sudah dibahas melalui reply orang-orang.

Anywaaay, si orang itu tak sekali dua kali nyinyir terhadap twit saya. Bahkan twit yang tak ada hubungannya dengan musik pun, dia nyinyiri [ini istilahnya benar nggak ya? Haha]. Akibatnya, teman-teman saya yang juga teman dia, bertanya-tanya, ada masalah apa saya dengan dia? Saya tak pernah merasa membahas dia. Bahkan menulis ulasan soal album band dia pun tak pernah.

Kalau menurut analisa kawan-kawan sih, mungkin karena dia merasa lebih pintar dari saya, tapi yang lebih dikenal sebagai penulis, malah saya. Haha.

Saya tak pernah membalas twitnya, tapi Tuhan cukup berbaik pada saya. Satu hari, saya bisa bertemu dia di satu acara. Tanpa ragu, saya hampiri dia. Saya rangkul pundaknya. Tidak, bukan mau saya pukul kok, saya kan cinta damai. Haha. Setelah dirangkul, saya tatap matanya, dan berkata, “Banyak orang nanya sama gua, Elu kenal sama ***** nggak? Nah, gua pengen liat mukalu, kayak gimana sih.”

Dia tak menjawab apa-apa. Cuma menatap ke depan dan bertanya soal alat DJ di panggung.

Saya tinggalkan dia.

Setelah itu, tak pernah ada lagi twit tentang saya. Tak perlu bertanya siapa orangnya. Saya tak mau membuat dia populer. Haha. Kalau yang sudah tahu, simpan saja dalam hati, tak perlu ditulis di fitur comment. Nanti tak akan saya approve. Haha.

Jadi, hikmah dari cerita ini. Kalau Anda punya pengalaman serupa dan punya kesempatan yang sama, lakukanlah seperti yang saya lakukan. Hehe.

Saya juga sepertinya bakal begitu sih. Meskipun sering menulis twit soal SBY, kalau bertemu dia mah, saya tak akan seberani itu. Tapi kalau Bu Ani sih, saya yakin, di kehidupan nyata, sama galaknya dengan dia di Instagram. Hehe. Banyak juga kok, yang berani di dunia maya, dan aslinya juga sevokal itu–dan saya angkat topi buat mereka. Tapi, tulisan ini ditujukan buat yang beraninya di dunia maya doang. Hehe.

Nah, bicara soal keberanian di dunia maya. Jangan-jangan, penyebab sekarang sedikit sekali aksi di jalanan, karena banyak yang merasa, sudah cukup menulis di media sosial atau memang tak seberani itu.

Ada yang bertanya di Twitter, dengan situasi politik Indonesia yang sepertinya menuju pada kebangkitan Orde Baru, ke mana mahasiswa sekarang? Pikiran ini, muncul setelah membaca twit dari kawan saya @josephsudiro

Saya tak mau terjebak nostalgia masa lalu. Tapi, ketika era ’98, komunikasi belum sebebas dan selancar ini, konsolidasi mahasiswa berjalan dengan baik. Tapi ya, ini masih analisa dini dan dangkal. Siapa tahu, memang mahasiswa sedang menyusun rencana untuk aksi turun ke jalan demi menghadang bangkitnya Orde Baru.

Buat yang pro Orde Baru dan menganggap ketakutan saya berlebihan, itu mah hak Anda. Tapi saya tak ingin Orde Baru muncul lagi. Kampret juga ya. Secara nama, itu bagus. Sampai kapanpun, akan terasa kekinian, karena Orde Baru. Orde Baru Mark II bakal lebih kuat lagi, karena didukung kaum yang merasa ‘religius’, saya kuatir mereka yang minoritas akan lebih sulit lagi beribadah. Sekarang saja, masih ada orang yang sulit beribadah.

Ini kenapa tulisan saya tiba-tiba ke sini ya arahnya? Haha.

Ngawur. Begini nih jadinya kalau orang yang sebelumnya tak peduli politik, mau sok-sokan menulis tema begini. Habis mau gimana lagi? Baca dan nonton berita soal kelakuan para poiltikus, menyebalkan sekali ya. Mungkin karena politikus itu artinya banyak tikus [poli = banyak]. Haha. Saya memang sebal sama tikus.

Kadang-kadang, saya suka berpikir. Bagaimana kalau sebenarnya yang kita lihat di media massa itu hanya pura-pura. Macam program reality show atau program hipnotisnya Uya Kuya. Siapa tahu, para politikus itu ada yang berperan baik, ada yang berperan jahat. Jadinya, semacam ada harapan buat rakyat, bahwa masih ada yang baik di pemerintahan. Padahal mah, semua sama saja.

Waduh, maaf nih, jadi berburuk sangka begini. Semoga saja masih ada orang baik di sana.

Tuh kan, jadi melantur lagi tulisannya. Jauh sekali sama judulnya. Haha.

Sudah, ah.