Empat tahun yang lalu, saya diundang oleh Coca Cola untuk datang ke London, melihat Maroon 5 membuat lagu untuk Coca Cola. Mereka mengundang bloggers dari seluruh dunia untuk datang dan melaporkan kegiatan Maroon 5 di studio. Tugas saya cuma ngetwit semua kegiatan saya selama di London, memakai hesteg yang mereka minta. Selain itu, saya diminta menuliskan dua blog post tentang itu. Satu tulisan sebelum berangkat, dan satu tulisan setelah berangkat.

Saya dan Endah, gitaris/vokalis Endah N Rhesa yang terpilih mewakili Indonesia. Padahal, waktu itu, followers kami masih belasan ribu. Saya lupa Raditya Dika berapa followers-nya, yang jelas, belasan ribu sudah termasuk besar jika dibandingkan para bloggers dan buzzers yang diundang ke London.

Empat hari saya di sana, dan masih penasaran. Saya bertekad, satu hari nanti, harus mengajak Tetta, yang waktu itu masih jadi pacar saya, untuk ke London dan jalan-jalan. Makanya, saya tinggalkan sepatu boots saya di London, dengan harapan saya bisa balik lagi ke sana. Selain itu sih, saya beli sepatu di sana dan malas membawa ke dalam tas. Jadi, saya tinggalkan sepatu saya di sana, sebuah sepatu tentara yang saya beli di Pasar Kosambi, Bandung, seharga 100 ribu.

Dan kini, harapan itu segera terwujud. Selasa, 23 Juni besok, saya dan Tetta akan pergi ke London untuk jalan-jalan sekalian bulan madu yang kesekian. Kali ini dengan dukungan Garuda Indonesia, maskapai penerbangan yang mendapat bintang 5 dari Skytrax—sebuah lembaga independen berbasis di London, pemberi peringkat pada maskapai. Waktu ke London pertama kali, saya tak naik Garuda, tapi maskapai asing. Tapi, waktu ke Jepang, dan Korea Selatan, saya naik Garuda dan langsung terasa perbedaannya. Maafkan kalau ini terasa seperti kalimat di iklan-iklan produk DRTV. Haha.

Kelebihan utama naik Garuda Indonesia adalah saya merasa di rumah sendiri. Ini penting buat saya yang meskipun sedang jalan-jalan ke luar negeri, tetap ingin merasa tak asing selama di perjalanan. Ada wajah Melayu yang siap membantu selama di penerbangan. Merasa ada orang yang bisa mengerti secara psikologis maupun kultur. Pergi ke luar negeri naik Garuda Indonesia, ibaratnya saya tak akan merasa canggung. Waktu naik maskapai asing, saya yang pemalu begini, merasa kurang nyaman secara psikologis. Haha.

Jalan panjang yang berliku menuju London ternyata tak selesai setelah saya mendapat kepastian tiket pesawat dari Garuda Indonesia. Urusan berikutnya adalah visa. Setelah tak jadi wartawan, saya pergi ke luar negeri dengan biaya sendiri, artinya tak ada yang mengurusi untuk saya. Dan sebagai orang yang irit alias pelit alias cheap bastard, saya memilih mengurus sendiri visa. Waktu masih skala negara Asia sih, relatif mudah. Tak banyak pertanyaan yang membingungkan.

Mengurus visa UK di Jakarta, adalah yang paling detil pertanyaannya dibandingkan beberapa visa ke negara Asia yang pernah saya urus sendiri. Visa US katanya lebih sulit, tapi saya belum pernah mengurus jadi tak bisa komentar. Ada beberapa pertanyaan yang membingungkan seperti pertanyaan ulangan PMP atau PPKn atau apalah itu sekarang namanya. Pertanyaan menjebak, yang meskipun saya sudah tahu mendingan pilih TIDAK atau NO saja untuk semua jenis pertanyaan begitu, tapi tetap saja ada satu pertanyaan yang membuat saya ragu. Pertanyaannya: Apakah Anda pernah dengan sukarela keluar dari Inggris? Kurang lebih bahasa Inggrisnya sih “voluntarily elected” lah. Membingungkan kan. Saya pulang dari London ya sukarela, tapi ya bukan sukarela dalam konteks seperti relawan yang terpilih. Kalau Anda mengisi formulir visa dan bingung menjawabnya, tulis saja TIDAK. Jangan tiru mas Anang yang selalu bilang, “Kalau aku sih yes.”

Sempat panik juga ketika saya sadar setelah formulir pendaftaran dicetak, ternyata nama belakang dan nama depan Tetta tertukar. Saya kira itu bakal berpengaruh pada dapat/tidaknya visa dari Kedutaan. Eh ternyata pas pergi ke VFS Global di Kuningan City, tempat mengurus visa UK, solusinya sesederhana dicoret namanya, lalu ditulis versi yang benar dan diberi paraf di tempat yang tadi dicoret. Tak serumit yang saya takutkan. Malah saya melupakan yang lebih penting: terjemahan dokumen. Harusnya, semua dokumen yang aslinya berbahasa Indonesia dilampirkan terjemahannya, supaya petugas di Manila, tempat mereka memutuskan visa-nya mengerti itu dokumen apa. Saya juga tak melampirkan surat referensi dari Bank, yang menyatakan bahwa saya nasabah mereka dan punya rekening berapa di sana. Akhirnya saya lampirkan buku tabungan yang asli, setelah dapat saran dari petugas VFS Global.

Kurang dari dua minggu ternyata visa UK saya disetujui. Yah prosesnya mah, Googling saja lah. Semua sudah jelas kok. Saya juga mengikuti hasil Googling. Intinya mah, mau ngurus sendiri mau diurusi orang lain, kalau kita berangkat pakai uang sendiri sih, tetap saja, dokumennya harus kita siapkan sendiri. Agen yang mengurus tinggal mencari penerjemahnya. Katanya sih, ada perbedaan satu juta rupiah kalau mengurus lewat agen. Ongkos capeknya.

Sebetulnya, saya bisa saja jalan-jalan ke London di bulan lain yang bukan bulan puasa, tapi karena ada The Who yang bakal tampil di British Summertime Festival pada 26 Juni nya, saya tak peduli bulan puasa atau bukan. Biarlah, puasa agak lama [sahur jam 2 pagi, magrib hampir jam 10 malam], kapan lagi nonton The Who. Lagian, biar bisa menghemat uang makan siang. Haha.

thewho1040

Sepanjang Juni hingga Juli, banyak sekali konser di London dan sekitarnya. Dari The Strokes, Blur, Foo Fighters, Iggy Pop, hingga Taylor Swift adalah beberapa di antara namanya. Sungguh menggiurkan. Teman saya, Arian13 beberapa minggu lalu juga sempat dua kali bolak balik ke London demi konser. Kata dia, “Hidup adalah konser.” Sayangnya, band-band yang saya suka, terlalu jauh jaraknya. Ada waktu seminggu dari satu konser ke konser berikutnya. Jadi saya harus memilih. Iggy Pop sudah pernah. Foo Fighters mah kayaknya bakal ada kemungkinan ke Singapura, Blur sudah pernah, The Strokes masih muda, jadi masih panjang lah umurnya. Haha. Taylor Swift semoga ke Jakarta lagi. The Who sudah uzur, dan katanya ini tur terakhir mereka. Jadi, ya pilihan tepat adalah menonton The Who.

Pembelian tiket saya, dibantu oleh Robin Malau yang punya Konserama, yah semacam travel agent yang mau mengkhususkan diri pada wisata bertema musik ke UK. Silakan hubungi mereka kalau Anda tertarik.

Nanti saya cerita lagi ya, setelah pulang dari London. Rencananya saya pulang tanggal 3 Juli. Semoga saya kuat sepuluh hari puasa di London. Haha.