I’m in Love With Her, and I Feel Fine
Berarti, saya sudah berpacaran selama dua tahun dengan Tetta Riyani Valentia. Tidak. Dia tidak lahir pada 14 Februari karena bernama belakang Valentia—seandainya ada yang berpikir begitu. Bahkan, kakaknya yang bernama belakang Valentina pun, tak lahir pada tanggal itu. Tapi, mereka berdua punya kebiasaan yang sama; menggosok-gosok hidungnya dengan telapak tangan, setiap kali gatal.
Seingat Tetta, kami bertemu pertama kali di suatu hari, ketika dia bersama temannya mewawancari Pemred Cosmo Girl! Waktu itu, saya masih kerja di majalah Trax. Saya ingat, bertemu junior di kampus, ketika keluar dari lift. Tapi, tak ingat wajah Tetta. Hehe. Lantas, saya bertemu lagi dengannya pada Java Jazz pertama. Tapi, waktu itu, belum meninggalkan kesan terlalu mendalam di benak.
Hingga akhirnya, kami bertemu lagi di kampus. Waktu itu, saya diminta jadi pembicara di salah satu kelas. Tetta, yang waktu itu jadi panitia malam keakraban Himpunan Mahasiswa Jurnalistik Fikom Unpad, mendatangi saya untuk mengundang datang ke acara itu, sekaligus merekam pendapat saya soal acara itu, di kamera panitia.
“Manis juga,” pikir saya.
Selepas solat zuhur, tiba-tiba di luar mushola, ada Tetta dan Tia, seorang temannya yang meminta nomor kontak alumni Jurnalistik lainnya. Di situlah, momen itu terjadi. Saya melihat dia bersepatu Vans, tanpa memakai kaos kaki. Haha. Saya langsung jatuh cinta. Terserah kamu mau percaya atau tidak, tapi itu yang membuat saya jatuh cinta.
Dia memakai sepatu tanpa kaos kaki!
Entah kenapa, saya melihatnya sebagai sesuatu yang indah. Tidak. Saya bukan seorang shoe fetish. Saya hanya berpikir, berarti dia punya pribadi yang asik, cuek. Saya selalu menyukai sedikit sikap cuek dalam diri perempuan.
Saya tak ingin berpanjang lebar lagi, menceritakan bagaimana proses pendekatan itu. Yang jelas, Tuhan mendengar doa saya. Maklum, saya pernah sakit hati. Dan salah satu doa saya, adalah supaya bisa cepat sembuh dari sakit hati, dan menemukan perempuan yang bisa mengerti saya. Seakan-akan Tuhan menjawab doa saya, dengan mendatangkan dia ke musola, sehabis solat. Hehe.
Yang pasti, waktu saya meminta dia jadi pacar saya, tak seindah yang direncanakan. Karena kata-kata manis yang sebelumnya ada di kepala, langsung buyar, saking deg-degan dan gugupnya. Akhirnya, setelah ngalor ngidul beberapa menit, yang keluar hanyalah, “Mau jadi pacar gue nggak?”
Saya sempat mengira dia beragama Kristen. Karena waktu saya lihat profil Friendster-nya, saya baca kalau dia pernah bersekolah di SD Charitas. Untungnya salah satu posting dia di bulletin board menunjukkan kalau dia Islam. Ah, syukurlah. Bukan apa-apa. Saya tak mau mengejar perempuan yang berbeda agama. Takut repot. Kalau sudah jatuh cinta terlalu dalam, dan sama-sama tak bisa melanjutkan karena perbedaan agama, bagaimana?
Tetta anak bungsu dari empat bersaudara. Ayahnya Jawa. Ibunya Padang. Mungkin itu sebabnya, kulit Tetta hitam manis tipikal gadis Jawa, tapi raut wajahnya tipikal orang
Tetta tak suka ospek. Berbeda dengan saya, yang sangat mendukung sekali ospek. Saya memilih untuk tak berdebat soal ini. Karena biasanya, saya tetap memegang teguh pendapat saya, bahkan sedikit memaksakan kehendak. Dan dia pun tetap tak suka dengan ospek. Agak sedikit keras kepala, mungkin. Sama seperti saya sebenarnya. Makanya, kadang-kadang kalau sudah urusan keras kepala, saya seperti sedang bercermin. Untung saja, ini tidak terjadi secara harfiah. Soalnya, saya tak mau punya pacar yang wajahnya mirip saya. Hihi.
Tetta suka sekali Ash. Kalau kamu lihat account Multiply dia, di
Tetta suka sekali bunga, khususnya Lily putih, dan mawar biru [yang sampai sekarang belum pernah saya lihat.] Saya tidak terlalu suka bunga. :p Ini yang sampai sekarang, masih canggung saya lakukan. Memberi dia bunga. Waktu saya memberikan dia bunga pun, caranya tak tepat. Malah bertanya dulu, “Sayang, mau bunga nggak? Aku beliin ya.”
Saya baru tau belakangan, kalau sebaiknya saya tak bertanya dulu.
Tetta suka sekali jamur. Saya tak suka. Pada dasarnya, saya memang kadang suka pilih-pilih soal makanan. Kami pernah bertengkar karena ini. Waktu makan malam di rumahnya, ada menu gulai nangka [atau apapun itu namanya]. Saya tak suka nangka. Konsep buah-buahan dimakan dengan nasi, tak masuk di benak saya. Jangankan dengan nasi, makan nangka manis saja, saya sudah tak suka lagi. Dulu memang pernah suka. Dia marah, karena saya tak mau mencobanya sedikit pun. Saya tetap tak mau. Sekali tak suka, tetap tak suka. Saya memang begitu. Untuk mencoba pun, saya tak mau. Sampai saat ini, makanan yang saya tak suka dan memutuskan untuk mencoba, baru kerang kecil.
Kami jarang bertengkar. Kalaupun itu terjadi, pertengkaran kami selalu karena hal-hal kecil. Atau, karena perkataan saya yang salah. Seperti beberapa hari lalu, dia bercerita soal satu hal. Saya, malah menimpalinya dengan nasihat-nasihat. Padahal dia hanya mau didengarkan. Kalau bertengkar, biasanya kami hanya saling manyun. Saling jutek saja. Itu pun tak berlangsung lama.
Tetta memang tak suka digurui, atau diatur-atur. Dalam beberapa hal, lagi-lagi ini mengingatkan pada saya. Mungkin karena saya begitu, dan cenderung suka mengatur-atur, Tuhan memberi saya ‘lawan’ yang seimbang.
Tetta pernah jadi perokok. Waktu pedekate, saya sempat kaget. Dulu, saya tak ingin punya pacar perokok. Karena saya tak merokok. Tapi, karena waktu itu hati saya keburu bicara, maka prinsip pun bisa dikalahkan. Sekarang, dia tak lagi merokok—sesekali sih katanya pernah, tapi di belakang saya. Ini semua berawal ketika suatu hari Tetta sakit. Sambil menggigil, dia berkata, “Sayang, aku mau berhenti ngerokok ah. Tolong jagain janji aku ya.”
Dia selalu malu kalau saya ejek soal kejadian itu. Dan menyangkal itu pernah terjadi. Dia juga selalu malu, kalau saya ejek soal masa lalu dia, yang pernah mengagumi atlet bulu tangkis, Taufik Hidayat. Dia juga tak suka, kalau saya olok-olok soal dulu pernah mengagumi Hanson. Mmmbop! Syupidap. Syupidap. Mmmbop! :p
Hubungan Tetta dan keluarganya hangat sekali—walaupun dia kadang menganggap ayahnya menyebalkan, karena banyak omong. Setiap ada anggota keluarganya yang berulang tahun, pasti saling memberi selamat. Merayakan bersama. Saya tak seperti itu. Bahkan, saya sering lupa ulang tahun orangtua saya. Adik saya berulang tahun pun, tak saya beri ucapan selamat. Bukannya saya tak sayang keluarga saya. Saya suka geli, dengan proses-proses seperti itu. Kalaupun ada peringatan ulang tahun, paling di rumah mengadakan pengajian, makan-makan. Tapi, tak ada satu pun yang memberi ucapan selamat. Yah, mungkin pola komunikasinya seperti itu. Makanya, beberapa hal yang tak dilakukan dengan keluarga, saya lakukan di keluarganya Tetta.
Tetta senang sekali berbicara. Walaupun dia sering menuduh saya bawel, sebenarnya dia senang sekali berbicara. Dia bisa berbicara tanpa henti selama beberapa menit lewat telepon menceritakan kegiatannya selama sehari. Ini obat yang ampuh kalau saya sedang rindu dia. 😀 Dia juga senang menceritakan semua kegiatannya pada keluarganya. Itu sebabnya, keluarganya tau siapa teman-teman dia, meskipun mereka belum pernah bertemu si teman-teman itu.
Tapi, yang paling penting, Tetta mau mengerti saya. Dia mengerti kadang pacarnya minim uang kalau sudah memasuki minggu ke-3. Dia mengerti betapa pacarnya seorang cheap bastard. Dia mengerti bahwa pacarnya lebih suka naik angkot atau metro mini, karena jauh lebih menghemat ketimbang naik taksi—kecuali malam hari tentunya.
Dia mengerti, bahwa saya sayang padanya, dan saya butuh disayangi juga. :p Mengutip lirik lagu I Feel Fine dari The Beatles, “I’m so glad that she’s my little girl…”
0 Comments