Afterhours: Vox
Tahun lalu, Vox pernah datang ke kantor saya yang lama. Dalam rangka promosi album perdananya, “Pada Awalnya.” Harusnya, wawancara ini dimuat dalam rubrik Afterhours. Seperti juga wawancara saya yang lain, ini tak sempat dimuat. Sebenarnya, wawancara dengan gitaris/vokalis Vega, bassis/vokalis Joseph, kibordis/vokalis Donny dan drummer Mayo ini jauh lebih panjang dari yang tertulis di sini. Cuma, karena waktu saya menuliskan transkripnya, saya sedang malas. Jadi baru segini saja. Dan saya malas untuk mendengarkan transkripnya lebih lanjut.
Entah bagaimana nasib Vox dan album perdananya itu.
Di album kalian, tema persahabatan cukup dominan untuk jadi lirik. Kenapa?
Joseph: Waktu itu saya memang sudah lama nggak menemukan teman-teman yang bisa dibilang saahabat, atau keluarga seperti di Vox ini. Saya merasakan satu hal yang bisa membuat band ini jadi warm sekali yaitu persahabatan. Yang ada di kepala saya waktu itu, saya bersyukur sekali. Dan saya ingin orang yang mendengar juga bisa merasakan kalau enak sekali bisa bareng-bareng sahabat.
Memang, persahabatan seperti sekarang ini belum pernah Anda rasakan?
Joseph: Sudah lama ya. Terakhir bersahabat seperti sekarang ini, SMA mungkin [tertawa]. Jadi, niat awalnya memang bukan mau mendirikan band. Cuma, mau mainin musik yang kami suka. Dan persahabatan dengan rekan-rekan Vox, ini sangat menyenangkan. Banyak penggemar awal kami di Surabaya, band ini sangat warm, mereka nanya gimana caranya bisa warm begini? Kami juga bingung, gimana supaya bisa begini. Dan kami sadarnya belakangan ya.
Pada titik apa, kalian memutuskan untuk serius di band ini?
Vega: Pada waktu Mei 2006, kami ditawari Aksara Records untuk bergabung dengan mereka. Ini sehabis kami manggung di launching album The Brandals. Baru Februari 2007 kami bisa merealisasikannya.
Joseph: Waktu itu, kami juga ditelepon panitia LA Lights Indie Fest, mereka bilang kami lolos ke final. Malam pulang dari pertunjukkan itu, saya sendiri nggak bisa tidur. Satu shot dua shot baru bisa minum. Karena kami selalu kagum sama produk mereka. Dan nggak nyangka bisa gabung dengan keluarga besar mereka. Apalagi, kami datang dari
Kalau begitu, apa yang kalian pikir terhadap diri sendiri, begitu mendapat tawaran itu?
Donny: Waktu itu kami pikir, masuk MTV Jail, karena acaranya
Joseph: Soalnya, sebelumnya kami band yang selalu manggung dengan baju batik, caur pokoknya lah. Tiba-tiba, Aksara nawarin kami, boom! Label yang sedemikian itunya di ibukota.
Vega: Pemikiran kami, alhamdulillah, records suka. Dan ternyata mereka mau mengontrak dan mendistribusikan. Akhirnya kami pikir harus membuat lagu yang bisa disukai orang banyak.
Joseph: Itu pertanyaan yang sering kami tanyakan pada David Tarigan [A&R Aksara Records], kenapa Anda pilih Vox? Dia jawab, karena kalian hangat dan bisa menghibur orang. Kami sendiri nggak pernah mengira itu. Dan memang kalau sesuatu yang dilakukan dengan hati, mungkin lebih soul, lebih warm. Kami langsung gali segala akar musik, termasuk konsep vox populi vox dei itu. Bahkan alasan kami pakai seragam waktu itu, supaya egaliter.
Memang, sempat merasa tidak percaya diri, karena kalian band dari luar
Joseph: Pasti. Apalagi tahu sendiri, kualitas band di Bandung dan
Album apa yang kalian jadikan panduan, waktu workshop itu?
Joseph: Kami bikin dua kali demo, bikin dua CD referensi. The Beatles, mulai dari album Revolver ke atas. Terus, Magic Numbers. Itu yang pertama. The Beach Boys yang Pet Sounds. Dan Bob Dylan serta Lennon. Kalau CD kedua, banyak banget, tapi yang lebih modern. Di demo kedua, ada aransemen baru, karena kami band panggung. Karena kami tahu, kata orang kekuatan kami di panggung.
Bagaimana perjuangan kalian mengenalkan musik kalian pada publik
Vega: Sebenernya nggak mengalami kesusahan. Waktu demo pertama, kami coba tes. Ternyata, masu chart radio juga.
Joseph: Mungkin susahnya karena orang tahu, stereotype
Bagaimana rasanya kerja dengan David Tarigan? Dia kan kolektor, biasanya mereka selalu ingin memasukan selera musiknya pada orang lain.
Joseph: Dia membawa good vibration. David percaya sama kami. nah, yang David lakukan, yang kami rasa sangat berharga, menjaga mood kami, dan tetap menjaga soul dari lagunya. Apa yang kami gali, apa yang kami sajikan kebetulan juga disukai David.
Vega: Pertanyaan David pertama adalah, kalian suka Beatles nggak?
Joseph: Kata David, setiap ada band masukin demo ke Aksara—kami
Kalian menulis lirik “…menjadi yang terhebat” di lagu Ingatkah Pertama, setahu saya, yang pertama menggunakan kalimat itu, Sheila On 7 di lagu Sahabat Sejati.
Joseph: Kebetulan lagu itu, kami dapat ceritanya dari anak-anak Sheila. Saya dan teman-teman juga penyuka Sheila On 7. Eross sama Adam pernah cerita soal temannya yang meninggal, dan pernah menampakkan diri di studio, bilang untuk teruskan main musiknya. ‘Kamu kalau ingin jadi yang terhebat, jangan berhenti.’ Kami nggak sadar juga, ya secara lirikal ternyata terpengaruh. Mas detil sekali ya?
Soalnya saya suka lirik-lirik Sheila On 7
Joseph: Kami juga suka. Soalnya liriknya positif. Dan kebetulan di album ini, tema positif juga. Karena setahun ini, yang kami rasakan positif. Dan kami ingin memberikan good vibrations pada orang-orang di saat kondisi saling menyalahkan seperti ini. Kenapa nggak, kita jadi sama-sama satu Negara yang hebat?
Tapi, ngomong-ngomong soal good vibrations, Brian Wilson juga
semua: [tertawa]
Joseph: Ya itu good-nya. Mungkin itu yang menjadikan dia pahlawan.
0 Comments