Saya dan Sepeda Motor
Jadi begini,
Tahun 90-an, ada serial televisi berjudul “Renegades” dengan pemeran utama Lorenzo Lamas yang memerankan karakter pemburu bayaran bernama Reno Raines. Itu adalah satu dari sekian banyak serial yang tayang di RCTI dan selalu saya tonton. Saya bahkan masih agak ingat narasi di pembuka serial itu.
He was a cop, and good at his job. But he committed the ultimate sin. Testified against other cops gone bad. Cops that try to kill him. But got his woman killed instead. Now, he’s crawling (atau apalah itu kata sebenarnya, yang jelas di terjemahannya berkeliaran) the bad land. An outlaw hunting outlaws. A bounty hunter. A renegade!
Reno Raines mengendarai Harley Davidson. Dan gara-gara film itu, dia membuat saya kepingin punya Harley. Maskulin sekali kelihatannya kalau naik Harley. Dan kuat. Soalnya Reno Raines sering naik Harley hanya memakai rompi kulit, tanpa kaos lagi. Mungkin juga dia sudah membasuhkan minyak kayu putih di pusarnya. Soalnya jaman itu kan belum ada Antangin atau Tolak Angin.
Maka saya pun selalu mendamba motor Harley. Lalu ketika tahu ada jenis Sportster yang tak terlalu besar dan tak sepanjang chopper, saya bertekad untuk membeli Sportster.
Tahun 1997, ketika saya masuk Fikom Unpad, bapak saya membelikan Suzuki Crystal 110 cc tahun 1994 yang dibeli seharga 2,4 juta rupiah. Motornya kecil dan ringan sekali. Dua tak. Dan setelah beberapa bulan saya pakai, knalpotnya ngebul sekali. Baunya menyengat dan bikin mata perih. Kalau di lampu merah, saya jadi seperti tukang sate. Asap di mana-mana. Ternyata sehernya sudah rusak. Saya setiap hari mengendarai motor itu berdua teman saya Jeffri yang tinggal di rumah. Kami terlihat terlalu besar untuk motor sekecil itu.
Lalu pada 1998, setelah naik tingkat 2, bapak saya mengganti Suzuki Crystal dengan Honda GL Pro tahun 1995 yang dibeli seharga 5,5 juta rupiah. 160 cc. Dan GL Pro itu menemani saya hingga sekarang. Kami sudah menempuh ribuan kilometer dan sudah dua kali turun mesin, tiga kali ganti tangki, sekali ganti shockbreaker belakang, sekali ganti velg, sekali ganti kabel kelistrikan dan entah berapa kali ganti onderdil lainnya. Yang jelas, GL Pro saya sekarang jauh lebih terawat ketika saya kuliah. Maklum, sudah punya uang sendiri.
Tapi mimpi punya motor bermesin besar tak pernah pudar. Meskipun agak kurang yakin bisa terwujud, tapi mimpi itu selalu ada. Lalu saya dikenalkan pada Triumph Bonneville yang ternyata lebih kecil dibandingkan Sportster. Maka, Bonneville masuk ke dalam impian. Belakangan, mimpi itu makin terasa mustahil setelah mendengar harga motor di atas 600 cc pajaknya bukan main besarnya, karena dianggap barang mewah. Sempat berpikir untuk membeli Harley Davidson Street 500 yang katanya seharga 250 juta. Ah, kalo nyicil pasti mampu nih. Begitu pikir saya. Tapi pas melihat langsung, ternyata motornya kurang gagah. Haha.
Dan ketika ada Royal Enfield yang harganya tak di atas 100 juta rupiah untuk motor 500 cc, hati sempat terpikir untuk membeli itu. Sempat test ride dan merasa nyaman. Sudah meninggalkan nomor telepon juga, minta dihubungi kalo penjualan sudah dimulai. Tapi, ada kabar bahwa manajemennya berganti dan dealer Royal Enfield bermasalah sehingga showroom di Jalan Pejaten itu tak kunjung dibuat. Saya juga tak tahu cerita pastinya, yang jelas showroom Royal Enfield sempat lama tak jelas keberadaannya. Dan ketika showroom jadi, saya tak juga dihubungi. Mungkin datanya tak tahu di mana.
Royal Enfield memang agak bersahabat harganya, tapi hati selalu memikirkan Triumph Bonneville. Ibarat sedang naksir dua cewek, ada satu yang kemungkinan besar sudah mau menerima, tapi satu cewek lagi yang paling sesuai selera belum jelas kemungkinannya. Harus sabar menunggu.
Yah, daripada jadian sama yang tak terlalu disukai, mending sabar terus sambil pedekate pada cewek idaman.
Dan impian selama 20 tahun itu pun terwujud di tahun 2017. Saya dengar kabar soal dealer Triumph di Kemang Raya yang tahun 2016 menjual Triumph baru lengkap dengan surat-surat, dengan harga seperti Triumph lama yang belum tentu ada surat-suratnya.
Yah, singkat cerita, setelah ngobrol dengan Triwil, salah satu bos Triumph Jakarta, saya berjodoh dengan Triumph Bonneville Street Twin yang secara visual sudah bisa memenuhi selera saya, tanpa harus melakukan modifikasi. Kebetulan, Tetta merestui keinginan saya. Hehe.
Jadi sodara-sodara, pesan moral dari tulisan ini adalah: benar kata orang bijak yang bilang bahwa kalau kita bisa memimpikan, pasti kita bisa mewujudkan. Buat kamu yang masih mendamba motor impian atau apapun itu, tetaplah bermimpi! Tapi sambil kerja ya. Jangan sambil ngepet. Dan ingat, kalau kamu sudah punya pasangan, restu pasangan sangatlah penting dalam mewujudkan mimpi itu.
Makanya, saya kalau melihat orang punya banyak motor mahal, ada dua hal yang selalu terlintas di benak: Itu orang kerjanya apa ya? Lalu, gimana cara dia bilang ke istrinya ya?
0 Comments